FKM UI Diskusikan Pengimplementasian Determinan Sosial Kesehatan di Indonesia

Himpunan Mahasiswa Pascasarjana (HMP) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia selenggarakan diskusi publik berjudul “Signifikansi Determinan Sosial Kesehatan (DSK) dalam Pembangunan Kota Sehat Berkelanjutan”. Diskusi ini diselenggarakan pada Kamis, 22 Juni 2023 secara daring dan bebas diikuti tidak hanya oleh mahasiswa namun juga dari masyarakat umum. “Diskusi semacam ini selaras dengan misi FKM UI untuk menjadi penggerak pembangunan kesehatan melalui partisipasi aktif dalam membangun kemampuan menyelesaikan masalah kesehatan masyarakat,” ujar Manajer Kemahasiswaan FKM UI, Dien Anshari, S.Sos., M.Si., Ph.D., seraya menyambut para peserta.

Determinan Sosial Kesehatan (DSK) merupakan faktor nonmedis yang mempengaruhi outcome kesehatan. Salah satu penerapan DSK adalah dikembangkannya konsep tatanan sehat. DSK sendiri sering digunakan untuk menjadi penentu disparitas kesehatan pada kelompok rentan.

“Di Indonesia sendiri, kesenjangan kesehatan masih banyak terjadi, seperti akses pemeriksaan kehamilan, kasus stunting, dan fasilitas kesehatan yang masih terkonsentrasi di kota besar,” papar Prof. Dr. drg. Ella Nurlaella Hadi, M.Kes. Apabila kita menilik angka harapan hidup, antar provinsi memiliki angka yang sangat beragam mulai dari 57 sampai 65,9 tahun.

DSK sendiri dapat mempengaruhi oleh 5 (lima) hal, yaitu: meningkatkan tata kelola pemerintahan, meningkatkan partisipasi masyarakat, reorientasi sektor kesehatan, memperkuat tata kelola global, serta memperkuat monitoring dan akuntabilitas. Kelima hal ini secara keseluruhan masih terhambat oleh data yang kurang memadai, stigma pada kelompok rentan, dan ketidakmampuan instansi terkait.

Menanggapi hal tersebut, Staf Ahli Bidang Pembangunan Berkelanjutan, drg. Agus Suprapto, M.Kes., menyampaikan bahwa sudah terdapat beberapa upaya yang dilakukan agar kelima hal tersebut dapat terwujud. Menurut drg. Agus, kita dapat memperbaiki siklus yang ada dengan adanya lingkungan yang baik. “Harapannya nanti ketika menginjak usia produktif, pendapatannya lebih besar sehingga tabungannya bisa untuk dirinya sendiri, keluarga, dan tabungan nasional. Ini bisa dimulai dari perbaikan lingkungan,” papar drg. Agus. Definisi sehat sendiri sudah seharusnya diperluas menjadi sejahtera. Untuk mewujudkan hal tersebut, diperlukan penguatan dukungan dari akademisi, kemitraan dengan pihak swasta, media dan lembaga non pemerintah, serta media massa.

Salah satu success story dari penerapan Kota Sehat terjadi di Semarang. Kepala Dinas Kesehatan Kota Semarang, Dr. dr. Mochamad Abdul Hakam, Sp.PD, FINASIM, menyampaikan bahwa ke-9 tatanan kota sehat menurut WHO sudah dilaksanakan di Semarang. Contohnya, sudah terdapat daycare Rumah Pelita. Daycare ini merupakan tempat penitipan anak yang berfokus pada penanganan stunting. Selain itu, pernah dilakukan pilot project pengembangbiakan nyamuk Wolbachia. “Gerakan kota sehat dilakukan melalui berbagai kegiatan dengan memberdayakan masyarakat yang difasilitasi oleh pemerintah kabupaten atau kota,” ujar Dr. Mochamad. (BK)