Seminar Online FKM UI Seri 25: Strategi Kesiapsiagaan Nasional Menghadapi Ancaman Megathrust

Magister Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) sukses menggelar Seminar Online (Semol) FKM UI Seri 25 pada Sabtu, 16 November 2024. Seminar ini mengangkat tema besar tentang kesiapsiagaan sistem kesehatan nasional menghadapi ancaman bencana alam megathrust. Seminar yang dipandu oleh Dr. Fetrina Lestari, S.K.M., M.K.M., ini menjadi ruang diskusi penting yang diikuti oleh lebih dari 400 peserta, mulai dari akademisi hingga praktisi, untuk meningkatkan wawasan dalam mempersiapkan strategi menghadapi risiko kebencanaan di Indonesia. Diskusi yang bertajuk “Peran Ahli Kesehatan Masyarakat dan Kolaborasi Lintas Sektor dalam Tanggap Darurat Bencana Nasional” ini juga memproyeksikan tentang pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam membangun ketangguhan menghadapi bencana.

Dalam sambutannya, Prof. Robiana Modjo, S.K.M., M.Kes., menegaskan betapa relevan dan mendesaknya pembahasan topik ini. “Seminar ini tidak hanya menjadi sarana untuk memperkaya ilmu akademik, tetapi juga bentuk kepedulian dari para mahasiswa K3 FKM UI yang sedang mengambil mata kuliah Kesehatan Masyarakat Intermediate. Mereka berusaha membawa kontribusi nyata terhadap isu-isu yang saat ini menjadi perhatian luas,” ujar Prof. Robiana.

Prof. Robiana juga menyoroti posisi strategis Indonesia yang berada di kawasan Ring of Fire atau Cincin Pasifik. Kondisi ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan risiko tinggi terhadap bencana alam, khususnya gempa bumi dan tsunami. Oleh karena itu, kesiapsiagaan dianggap sebagai elemen kunci dalam upaya minimalisasi dampak negatif yang mungkin ditimbulkan.

Menurut Prof. Dr. Irwan Meilano, ahli geodesi gempa sekaligus Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung, posisi Indonesia yang berada di kawasan cincin api Pasifik, wilayah yang rawan gempa bumi dan tsunami. Kondisi ini membuat Indonesia perlu melakukan upaya penanggulangan bencana tersebut serta menjadikan kondisi ini kunci untuk memitigasi risiko dan dampaknya. Prof. Irwan menjelaskan langkah nyata yang telah diambil melalui keterlibatannya dalam komunitas mitigasi bencana, di antaranya pembentukan emergency response teams yang berperan penting dalam tanggap darurat. “Tim ini bekerja sama dengan pemerintah daerah untuk memfasilitasi pemulihan pascabencana, memberikan dukungan logistik saat krisis, hingga membangun program bantuan jangka panjang. Langkah ini bertujuan memastikan keberlanjutan masyarakat terdampak,” tutur Prof. Irwan.

Penelitian tentang sumber gempa besar subduksi (GBS) juga menjadi prioritas Prof. Irwan. Menurutnya, penelitian yang akurat menjadi landasan bagi strategi mitigasi yang tepat sasaran. “Penelitian ini membuka jalan bagi kolaborasi yang melibatkan stakeholder di berbagai sektor. Strategi mitigasi mencakup perencanaan business continuity plan (BCP), penguatan infrastruktur, pelatihan tenaga kerja, dan dukungan pemerintah lokal,” jelasnya. Lebih lanjut, kerangka kerja hirarki manajemen darurat dan krisis terdiri dari tiga level. “Pada Level 1 (Krisis), fokusnya adalah koordinasi dan pencegahan agar situasi tidak memburuk. Level 2 (Darurat) membutuhkan aktivasi sumber daya tambahan, sedangkan Level 3 (Mendesak) menuntut respon cepat untuk mengurangi dampak signifikan,” papar Prof. Irwan. Ia menegaskan, kesiapsiagaan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga membutuhkan peran aktif komunitas, institusi pendidikan, dan sektor swasta. “Kesiapan kita bukan hanya soal alat atau infrastruktur, tetapi juga kolaborasi berbasis pengetahuan yang berorientasi pada solusi. Dengan pendekatan ini, kita dapat menciptakan sistem yang lebih tangguh dan adaptif,” ujarnya

Prof. Dra. Fatma Lestari, M.Si., Ph.D., memberikan perspektif terkait risiko gempa megathrust dan dampaknya terhadap kesehatan masyarakat. Sebagai Guru Besar FKM UI dan Direktur Pusat Pengurangan Risiko Bencana, ia menegaskan bahwa gempa megathrust tidak hanya menghadirkan ancaman fisik, tetapi juga berdampak serius pada kesehatan masyarakat. “Ancaman ini tidak boleh dipandang sebelah mata karena dampaknya mencakup berbagai aspek, mulai dari penyakit menular hingga masalah kesehatan mental,” ujarnya.

Prof. Fatma menjelaskan bahwa kondisi pascabencana sering kali menciptakan lingkungan yang rentan terhadap penyebaran penyakit menular, seperti diare, kolera, dan infeksi pernapasan. Faktor utama yang memperburuk situasi ini adalah keterbatasan akses air bersih, kerusakan fasilitas sanitasi, dan kepadatan penduduk di tempat pengungsian. “Kurangnya kebersihan dan sanitasi memicu risiko kesehatan yang besar, terutama bagi komunitas yang terkena dampak evakuasi massal,” tambah Prof. Fatma. Selain itu, Prof. Fatma juga menyoroti tingginya kasus trauma psikologis dan gangguan kesehatan mental, seperti Post-Traumatic Stress Disorder (PTSD), kecemasan, dan depresi, di antara korban bencana. “Dukungan psikososial sangat diperlukan untuk membantu korban mengatasi trauma dan membangun kembali ketahanan mental mereka,” tegas Prof. Fatma.

Analisis strategis terkait ancaman gempa megathrust dan langkah mitigasi krisis kesehatan turut disampaikan oleh Dr. Sumarjaya, S.K.M., M.M., MFP., CFA., Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kementerian Kesehatan RI. Dr. Sumarjaya menjelaskan bahwa gempa megathrust terjadi di sepanjang batas subduksi yang memiliki potensi untuk menimbulkan gempa besar dan tsunami. “Sejarah gempa di Indonesia, seperti gempa Aceh 2004, Nias 2005, Padang 2009, dan Mentawai 2010, menunjukkan betapa gentingnya risiko ini,” ujarnya. Menurut Dr. Sumarjaya, penting untuk menjadikan data potensi gempa sebagai pijakan untuk mengembangkan langkah mitigasi dan kesiapsiagaan.

Sebagai bagian dari upaya sistemik, transformasi sistem kesehatan Indonesia pada 2021–2024 menjadi landasan untuk meningkatkan ketahanan darurat. Dr. Sumarjaya menggarisbawahi bahwa pengalaman dari pandemi COVID-19 memberikan banyak pelajaran berharga. “Pandemi ini menunjukkan bahwa sistem kesehatan nasional kita masih lemah dalam hal testing, tracing, dan tracking, serta kesulitan dalam memobilisasi sumber daya seperti fasilitas kesehatan, alat medis, dan tenaga kesehatan,” jelasnya. Oleh karena itu, Dr. Sumarjaya mengusulkan penguatan sistem kesehatan melalui kolaborasi pentahelix, yakni melibatkan pemerintah, komunitas, akademisi, dunia usaha, dan media massa.

Pengelolaan krisis kesehatan juga harus dilakukan secara terstruktur, mulai dari fase prakrisis hingga pascakrisis. Pada fase prakrisis, pembentukan dan pelaksanaan klaster kesehatan bertujuan untuk mengurangi risiko krisis. Sementara itu, pada fase krisis, sistem komando diaktifkan untuk mencegah kematian, mengurangi disabilitas, dan menjaga layanan kesehatan esensial tetap berjalan. “Setelah krisis berlalu, tujuan kita adalah membangun kembali sistem yang lebih baik, aman, dan berkelanjutan,” tambah Dr. Sumarjaya.

Seminar ini juga dihadiri oleh sejumlah tokoh dari sektor industri, di antaranya Adam Maryanto, Manager HSSE Operasi Zona 7 Pertamina EP; Ryan Saputra dari PT Pamapersada Nusantara; M. Osaegi Restu A dari PT Putra Perkasa Abadi. Kehadiran ketiganya turut memperkaya diskusi dengan pandangan praktis, menegaskan sinergi antara pemerintah, akademisi, dan sektor swasta untuk memperkuat ketahanan tanggap darurat nasional. (DFD)