Doktor FKM UI Teliti Model Prediktif Determinan Kepatuhan Pengobatan Antiretroviral pada Lelaki Seks dengan Lelaki dengan HIV di Kota Kediri

Senin, 6 Januari 2025, Program Studi Doktor Epidemiologi Peminatan Epidemiologi Komunitas Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan Sidang Terbuka Promosi Doktor Epidemiologi dengan promovendus Forman Novrindo Sidjabat. Hadir dalam sidang tersebut sebagai Ketua Sidang yaitu Prof. Dr. Besral, S.K.M., M.Sc., Promotor Prof. drg. Nurhayati Adnan, M.P.H., M.Sc., Sc.D., Ko-Promotor dr. Syahrizal Syarif, M.P.H., Ph.D., dan Dr. dra. Rita Damayanti, MSPH. Tim penguji terdiri dari Prof. dr. Mondastri Korib Sudaryo, M.S., D.Sc., yang juga merupakan Dekan FKM UI; Dr. dr. Fidiansjah, SpKJ, M.P.H., seorang Dokter Ahli Utama dan Koordinator Pendidikan di RSJ Marzoeki Mahdi Bogor; dan Evi Sukmaningrum, M.Si., Ph.D., dosen psikologi yang juga peneliti senior di PUI-PT PPH Pusat Unggulan Kebijakan Kesehatan dan Inovasi Sosial, Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya.

Forman mempertahankan disertasinya yang berjudul “Model Prediktif Determinan Kepatuhan Pengobatan Antiretroviral pada Lelaki Seks dengan Lelaki dengan HIV di Kota Kediri”. Melalui pengamatannya, Forman menemukan bahwa masih ada ketidakpatuhan pengobatan antiretroviral (ARV), sementara target global adalah 95% ODHIV menjalankan pengobatan ARV dengan patuh sehingga mengalami penekanan jumlah HIV dalam tubuh. “Ketidakpatuhan pengobatan ARV merupakan perilaku tidak meminum obat yang terbentuk dari proses adaptasi dari perjalanan berbagai faktor yang panjang”, jelas Forman. “LSL (Lelaki Seks dengan Lelaki) dengan HIV tidak meminum obat bisa terjadi karena faktor unintentional seperti lupa atau masih harus bekerja, dan faktor intentional karena tidak sanggup dengan efek samping atau hilangnya motivasi akibat tidak merasakan kemanjuran,” lanjut Forman dalam pembuka presentasinya.

Namun, berdasarkan penggalian literatur dan studi terdahulu, Forman menemukan belum banyak penggalian kepatuhan pengobatan ARV berdasarkan tahapan pembentukan perilaku dimulai dari berbagai faktor latar belakang, konstruk perilaku, munculnya intention, dan perilaku kepatuhan pengobatan itu sendiri pada kelompok LSL dengan HIV, padahal intention adalah variabel penentu dari munculnya sebuah perilaku. Forman menambahkan dipilihnya kelompok spesifik LSL sebagai subjek penelitian karena meningkatnya laporan ODHIV baru dari kelompok LSL ditengah laporan menurunnya temuan ODHIV baru dari seluruh populasi pada tahun 2022 dibanding tahun 2010. “Kuatnya komunitas LSL menyebabkan mudahnya penjaringan dan penetapan diagnosis HIV+ dari kelompok LSL, selain itu kelompok LSL cenderung memiliki tingkat awareness yang tinggi untuk melakukan tes HIV karena mereka memiliki perilaku berisiko terinfeksi HIV yang tinggi,” jelas Forman. “Sayangnya pelaporan pengobatan ARV tidak dikelompokkan berdasarkan berbagai populasi kunci, sehingga sebenarnya kita tidak tahu pada populasi mana terjadi ketidakpatuhan yang tinggi, maka melihat tingginya angka temuan HIV baru di kelompok LSL sementara laporan ODHIV baru terus menurun, menarik perhatian saya untuk mengukur tingkat kepatuhan pengobatan ARV pada kelompok ini,” tambahnya.

Berdasarkan temuan itu, Forman mengembangkan penelitiannya dengan tujuan mendapatkan model untuk memprediksi kepatuhan pengobatan ARV yang mempertimbangkan berbagai faktor latar belakang dan terbentuknya kepatuhan pengobatan ARV melalui tahapan konstruk perilaku dan kemunculan intention yang kompleks.

Disertasi Forman fokus pada kebaruan memperkaya theory planned of behavior dengan faktor latar belakang hasil kombinasi five dimension of adherence dan whitehead-rainbow determinan of health model. Pengukuran kepatuhan pengobatan ARV pada kelompok dan lokasi spesifik yaitu kelompok LSL di Kota Kediri, dan menggunakan pendekatan analisis structural equation modellingpartial least square (SEM-PLS). Lebih lanjut, disertasi yang mendapatkan data dari 314 responden ini memberikan kontribusi pada penyediaan instrumen yang relevan pada konteks area penelitiannya karena melakukan proses adaptasi dan modifikasi 9 instrumen dengan konteks kepatuhan pengobatan ARV diantaranya Patient Health Questionnare 9 (PHQ-9), kuesioner 36 item-Self Acceptance Barger Scale, kuesioner 14 item pengukuran pengetahuan, kuesioner Perceived Social Support-Family Scale (PSS-Fa), kuesioner Perceived Social Support-Friend Scale (PSS-Fr), kuesioner Perceived Social Support Attending ART Clinic, kuesioner Homosexuality-Related Stigma Scale, kuesioner self-stigma scale, kuesioner Berger HIV Stigma Scale, kuesioner Standardized brief questionnaire measuring HIV stigma and discrimination among health facility staff, dan kueisoner pengukuran TPB.

Disertasi ini menyoroti peran penting sikap positif terhadap pengobatan ARV dan kemunculan intention yang kuat untuk mematuhi pengobatan ARV yang direncanakan. Faktor-faktor tersebut terbukti menjadi penentu utama kepatuhan pengobatan antiretroviral yang konsisten. Disertasi ini juga menyoroti pentingnya peran dukungan sosial yang kuat, termasuk keluarga, teman sebaya, dan penyedia layanan kesehatan. Dukungan sosial tersebut memberikan kontribusi signifikan terhadap persepsi pengobatan yang meningkatkan sikap pengobatan, norma menjalankan pengobatan dan kemampuan bertindak untuk melakukan proses pengobatan, serta memunculkan intention untuk tetap patuh pada proses pengobatan ARV. Sebaliknya, stigma dan tekanan psikologis muncul sebagai hambatan utama terhadap kepatuhan pengobatan ARV karena dapat menurunkan intention tetap patuh.

Walau demikian, berdasarkan konteks penelitian yang dilakukannya, di Kota Kediri menunjukkan stigma yang dirasakan oleh responden ada dalam kategori rendah. “Menarik sekali karena responden tidak merasakan stigma yang signifikan dalam kehidupan sehari-hari mereka, ini dapat menjadi asumsi bahwa proses edukasi dan informasi mengenai HIV yang selama ini dilakukan cukup efektif di Kota Kediri,” tutup Forman.

Disertasi Forman menghasilkan model dengan kemampuan prediksi kepatuhan pengobatan ARV pada kelompok LSL di Kota Kediri sebesar 77%. Model ini menyoroti keterkaitan berbagai faktor yang memengaruhi kepatuhan pengobatan. Berdasarkan temuan ini, Forman memberi rekomendasi pengembangan intervensi yang memperkuat sikap positif dan intention terhadap pengobatan ARV melalui penguatan dukungan sosial. Disamping itu tetap terus menguatkan edukasi khususnya tentang manfaat dari menjalankan pengobatan ARV yang dapat menghasilkan kondisi HIV yang tidak terdeteksi dan tidak menular melalui hubungan seksual, terus mengantisipasi stigma, dan upaya pengurangan tekanan psikologis seperti integrasi layanan konseling atau kesehatan mental.

Berdasarkan disertasinya, Forman Novrindo Sidjabat berhasil dinyatakan sebagai Doktor dalam Bidang Ilmu Epidemiologi. Forman merupakan lulusan S3 Epidemiologi Tahun 2025 ke-3, dan lulusan S3 di FKM UI ke-441. (Promovendus)