Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan sidang promosi doktor pada Senin, 23 Juni 2025, yang berlangsung di Ruang Promosi Doktor, Gedung G FKM UI. Promovendus Hotma Martogi Lorensi Hutapea, dari Program Studi Doktor Epidemiologi memaparkan hasil disertasinya yang berjudul “Faktor-faktor yang Memengaruhi Long COVID dan Kelelahan pada Penyintas COVID-19 yang Pernah Dirawat Inap di Beberapa Rumah Sakit di Palembang.” Sidang terbuka ini dipimpin oleh ketua sidang Prof. Dr. dr. Ratna Djuwita, M.P.H., dengan Prof. dr. Mondastri Korib Sudaryo, M.S., D.Sc., sebagai promotor, serta Dr. dr. Tri Yunis Miko Wahyono, M.Sc., dan Prof. Dr. rer. nat. Arli Aditya Parikesit, S.Si., M.Si., sebagai ko-promotor.
Hotma mengangkat isu Long COVID dalam disertasinya sebagai kondisi pascainfeksi SARS-CoV-2 yang ditandai oleh gejala yang bertahan lebih dari dua bulan, di mana kelelahan menjadi keluhan utama. Gejala lainnya meliputi batuk, kesulitan bernapas, depresi, hingga penurunan kualitas hidup secara signifikan. Di Indonesia, hingga 3 Mei 2025 tercatat sebanyak 1.465 kasus COVID-19 aktif dengan jumlah kumulatif 61.332.835, dan penambahan 13 kasus baru dalam 7 hari. Di tengah masih terjadinya penularan, pemahaman terhadap faktor risiko dan biomarker kelelahan masih terbatas. Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi faktor-faktor risiko yang memengaruhi Long COVID dan kelelahan, serta mengevaluasi hubungan antara binding affinity (afinitas ikatan) ssRNA SARS-CoV-2 terhadap reseptor TLR-8 manusia dengan kadar Interleukin-6 (IL-6) pada pasien Long COVID yang pernah dirawat inap di sejumlah rumah sakit di Palembang.
Penelitian pada disertasi ini dilakukan melalui pendekatan kohort ambispektif terhadap 257 pasiendewasa yang dirawat inap selama lima hari atau lebih akibat COVID-19. Data klinis, demografis, dan riwayat vaksinasi dikumpulkan, sementara tingkat kelelahan dinilai menggunakan instrumen Fatigue Assessment Scale (FAS). Selain itu, kadar IL-6 diukur dengan metode ELISA, serta dilakukan analisis in-silico untuk menilai pengaruh mutasi ssRNA terhadap afinitas ikatan TLR-8 dan kadar IL-6.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat enam faktor yang secara signifikan berhubungan dengan kejadian Long COVID, yaitu kelelahan akut selama perawatan, penyakit ginjal kronis, hasil PCR positif saat pulang, trombositosis, status vaksinasi, dan kebiasaan olahraga. Sementara itu, kondisi eritrositopenia dan penggunaan terapi oksigen terbukti berasosiasi dengan kelelahan pada Long COVID, dan kelelahan akut serta kebiasaan olahraga memengaruhi tingkat kelelahan COVID-19 secara umum.
Temuan menarik lainnya adalah bahwa infeksi varian Delta meningkatkan risiko terjadinya Long COVID, namun justru menurunkan risiko kelelahan. Kadar IL-6 yang tinggi juga terbukti memiliki hubungan yang signifikan dengan kelelahan, bahkan setelah disesuaikan dengan variabel pengganggu lainnya. Dalam pemaparannya, Hotma menegaskan, “Kelelahan akibat COVID-19 merupakan hasil dari interaksi kompleks antara faktor klinis, perilaku, dan varian virus, serta menempatkan kadar Interleukin-6 (IL-6) sebagai biomarker potensial dalam memahami mekanisme patologis kelelahan pascainfeksi SARS-CoV-2,” ujarnya.
Berdasarkan temuan tersebut, Hotma merekomendasikan kepada Kementerian Kesehatan serta Dinas Kesehatan untuk melanjutkan program vaksinasi COVID-19 dan memperkuat edukasi kepada masyarakat agar menyelesaikan vaksinasi hingga dosis lengkap. Selain itu, penting untuk memperkuat pelaksanaan Gerakan Masyarakat Hidup Sehat (Germas) serta kegiatan Komunikasi, Informasi, dan Edukasi (KIE) yang mendorong masyarakat untuk berolahraga secara rutin, sebagai upaya pencegahan terhadap Long COVID dan kelelahan. Di sisi lain, penguatan surveilans genomik juga menjadi hal krusial untuk memantau dinamika varian SARS-CoV-2 yang beredar di masyarakat serta mengintegrasikannya dengan sistem surveilans nasional yang telah berjalan.
Hotma turut memberikan sarannya untuk pihak rumah sakit. Ia menganjurkan agar dilakukan deteksi atau diagnosis terhadap gejala kelelahan selama pasien menjalani perawatan, dengan menggunakan alat ukur yang telah tervalidasi secara ilmiah. Penatalaksanaan yang tepat sejak awal dinilai penting guna mencegah kelelahan yang berkepanjangan dan menurunkan risiko terjadinya Long COVID. Penanganan yang optimal terhadap pasien dengan penyakit ginjal kronis juga disarankan agar dapat meminimalkan risiko komplikasi. “Selain itu, disarankan pula agar rumah sakit mempertimbangkan perpanjangan terapi antivirus berdasarkan nilai cycle threshold (CT) dari hasil PCR, mengacu pada hasil penelitian lanjutan terkait batas viabilitas virus SARS-CoV-2,” sambungnya.
Sidang terbuka promosi doktor ini menghadirkan sejumlah penguji yang terdiri dari Prof. Dr. Besral, S.K.M., M.Sc.; Trisari Anggondowati, S.K.M., M.Epid., Ph.D.; Prof. Dr. Sunarno, M.Si. Med.; Prof. Dr. dr. Radiyati Umi Partan, SpPD-KR.; dan Dr. Adi Yulandi, S.Si., M.T. Berdasarkan hasil pertimbangan dan penilaian dari Dewan Penguji, promovendus Hotma Martogi Lorensi Hutapea berhasil mempertahankan disertasinya dan dinyatakan lulus dengan predikat cum laude, meraih Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) sebesar 3,91.
Dengan kelulusannya ini, Hotma tercatat sebagai lulusan ke-10 Program Doktor Epidemiologi FKM UI pada tahun 2025, lulusan ke-125 dari seluruh Program Doktor Epidemiologi FKM UI, serta menjadi lulusan ke-457 program doktor FKM UI secara keseluruhan. Keberhasilannya tidak hanya memperkuat kontribusi keilmuan dalam bidang epidemiologi klinik, tetapi juga memberikan dasar ilmiah yang penting bagi pengembangan kebijakan kesehatan terkait pemulihan pasca COVID-19 di Indonesia. (DFD)