Doktor Epidemiologi FKM UI Soroti Pentingnya Model Ketahanan Imunisasi Campak Rubella di Indonesia

Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) kembali meluluskan seorang doktor di bidang Epidemiologi. Muammar Muslih berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Model Ketahanan Imunisasi Campak Rubella Kabupaten/Kota di Indonesia Tahun 2022–2023” dalam sidang promosi doktor yang berlangsung di Ruang Promosi Doktor Gedung G FKM UI pada 25 Juni 2025.

Bertindak sebagai ketua sidang sekaligus ketua penguji adalah Prof. dr. Mondastri Korib Sudaryo, M.S., D.Sc. Selama menyusun disertasi, promovendus dibimbing oleh Dr. dr. Tri Yunis Miko Wahyono, M.Sc., sebagai promotor, serta dua ko-promotor, yakni Prof. Dr. dr. Irawan Mangunatmadja, Sp.A(K) dan Dr. Masdalina Pane, S.K.M., M.Kes., M.Si(Han). Jajaran penguji lainnya meliputi Prof. Dr. Drs. Tris Eryando, M.A.; Prof. Dr. Ede Surya Darmawan, S.K.M., M.D.M.; Prof. Dr. dr. Elisabeth Siti Herini, Sp.A(K).; dan Dr. Soewarta Kosen, M.P.H., Dr.PH.

Indonesia saat ini tercatat sebagai salah satu dari sepuluh negara dengan jumlah kasus campak tertinggi di dunia. Jumlah kabupaten/kota yang melaporkan kasus campak meningkat dari 118 pada tahun 2019, menjadi 72 pada tahun 2020 dan 2021, lalu melonjak drastis menjadi 250 pada tahun 2022. Peningkatan tersebut diduga berkaitan erat dengan rendahnya cakupan imunisasi di berbagai wilayah. Disertasi Muammar Muslih menyoroti pentingnya ketahanan sistem imunisasi sebagai bagian dari transformasi layanan kesehatan primer, khususnya dalam menghadapi lonjakan kasus campak rubella.

Melalui desain penelitian kuantitatif cross-sectional berbasis studi ekologi multilevel, promovendus menganalisis data dari 257 kabupaten/kota yang memiliki setidaknya satu kasus positif IgM campak rubella selama periode 2022–2023. Sebagian besar kasus campak rubella ditemukan pada anak usia 0–5 tahun (60,7%), perempuan (51,3%), dan memiliki riwayat imunisasi MR2 yang tidak lengkap (67%). Sebanyak 67,7% kasus ditemukan di daerah dengan ketahanan imunisasi yang lemah, meskipun tingkat kewaspadaan terhadap suspek campak cukup tinggi (99,6%). Variabel lain seperti anggaran pelayanan imunisasi, pendanaan yang stabil, kinerja program pemerintah, ketersediaan SDM terlatih, dan sistem surveilans juga menunjukkan pengaruh positif terhadap ketahanan imunisasi.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cakupan imunisasi di tingkat kabupaten/kota memberikan kontribusi sangat besar terhadap ketahanan imunisasi campak rubella. “Ketahanan ini menjadi fondasi penting dalam mewujudkan sistem imunisasi yang tangguh dan responsif terhadap lonjakan kasus. Semakin tinggi cakupan imunisasi di suatu daerah, semakin kuat pula kemampuan wilayah tersebut dalam mencegah dan mengendalikan penyebaran campak rubella,” jelas Muammar. Sementara itu, pada level individu, riwayat imunisasi—terutama kelengkapan pemberian dosis vaksin MR2—terbukti berperan signifikan dalam memperkuat ketahanan imunisasi daerah. Data menunjukkan bahwa sebagian besar kasus ditemukan pada anak-anak usia 0–5 tahun yang tidak mendapatkan imunisasi secara lengkap, sehingga menjadikan kelompok ini rentan terhadap infeksi.

Melihat temuan tersebut, promovendus merekomendasikan agar pemerintah kabupaten/kota secara aktif melakukan penilaian terhadap ketahanan imunisasi campak rubella di wilayah masing-masing. Penilaian ini penting untuk mengidentifikasi indikator yang masih lemah, sehingga intervensi dapat diarahkan secara tepat sasaran. “Evaluasi berbasis data ketahanan imunisasi menjadi instrumen penting dalam mendukung tercapainya target eliminasi campak rubella secara nasional pada tahun 2026,” ujarnya. Selain itu, Muammar juga menekankan pentingnya peningkatan kapasitas sumber daya manusia, terutama petugas imunisasi dan surveilans di daerah, melalui pelatihan yang berkelanjutan. Pemerintah daerah didorong untuk memanfaatkan alokasi dana BOK secara optimal guna memastikan pelaksanaan program imunisasi berjalan efektif. Sementara itu, bagi Kementerian Kesehatan, disarankan untuk terus mendorong inovasi dan kebijakan berbasis bukti ilmiah yang mempertimbangkan faktor-faktor kunci ketahanan imunisasi, seperti kinerja program, pendanaan yang stabil, dan kecepatan respons terhadap kasus suspek.

Muammar Muslih yang lahir pada tahun 1981 di Jambi ini dinyatakan berhasil mempertahankan disertasinya dan meraih yudisium Sangat Memuaskan dengan IPK 3,83. Melalui pencapaian ini, Muammar tercatat sebagai doktor ke-13 Program Doktor Epidemiologi FKM UI tahun 2025, lulusan ke-129 dari seluruh Program Doktor Epidemiologi FKM UI, dan doktor ke-462 dari seluruh lulusan program doktor di FKM UI. Prestasi ini diharapkan dapat berkontribusi pada penguatan sistem imunisasi nasional dan percepatan eliminasi campak rubella di Indonesia. (DFD)