Doktor FKM UI Teliti Kesiapsiagaan Pemerintah Daerah dalam Menjamin Ketersediaan Obat Esensial di Masa Pandemi

Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) kembali meluluskan seorang doktor baru melalui sidang terbuka Promosi Doktor yang digelar pada Kamis, 26 Juni 2025. Promovenda Eme Stepani Sitepu berhasil memaparkan serta mempertahankan disertasinya di hadapan dewan penguji dalam sidang yang diselenggarakan di Ruang Promosi Doktor, Gedung G FKM UI. Sidang tersebut dipimpin oleh Prof. Dr. drg. Wachyu Sulistiadi, M.A.R.S., dihadiri oleh Prof. Dr. Dumilah Ayuningtyas, M.A.R.S., selaku Promotor, serta Prof. dr. Purnawan Junadi, M.P.H., Ph.D., dan Prof. Dr. Satibi, M.Si., Apt., sebagai Ko-promotor.

Penelitian disertasi Eme yang berjudul “Kesiapsiagaan Pemerintah Daerah dalam Menjamin Ketersediaan Obat Esensial pada Masa Pandemi (Studi Kasus Provinsi Jawa Barat dan Bali),” menyoroti pentingnya peran pemerintah daerah dalam menjamin ketersediaan obat esensial selama masa krisis kesehatan. Pengalaman selama pandemi COVID-19 menunjukkan adanya berbagai keterbatasan dalam sistem pengelolaan obat, mulai dari perencanaan, pengadaan, distribusi, hingga manajemen stok obat yang belum optimal. Walaupun laporan tahun 2021 mencatat bahwa 84,18% kabupaten/kota telah memenuhi indikator ketersediaan obat esensial, melampaui target 81%, pelaksanaan kebijakan di lapangan masih menghadapi banyak tantangan, baik dari sisi teknis maupun struktural.

Berdasarkan hal tersebut, Eme menyusun model konseptual resiliensi pemerintah daerah dalam menjamin ketersediaan obat esensial selama pandemi, dengan menggunakan pendekatan teori Van Meter dan Van Horn. Model ini diharapkan dapat diintegrasikan ke dalam sistem kesehatan daerah agar lebih tangguh dan adaptif dalam menghadapi berbagai krisis kesehatan di masa mendatang. Penelitian dilakukan secara kualitatif di dua provinsi, yaitu Jawa Barat (Kota Depok dan Kabupaten Bogor) serta Bali (Kota Denpasar dan Kabupaten Badung), dengan metode pengumpulan data berupa wawancara mendalam, observasi, dan telaah dokumen. Instrumen wawancara yang digunakan telah melalui proses validasi dengan nilai I-CVI >0,83.

Penelitian ini mengungkap bahwa kesiapsiagaan pemerintah daerah pada awal pandemi masih rendah, namun meningkat seiring dengan proses adaptasi dan penguatan kapasitas. Seluruh aktor dalam tata kelola ketersediaan obat esensial dinilai telah menjalankan perannya secara optimal sehingga target indikator ketersediaan obat di puskesmas dan kabupaten/kota pada periode 2020–2022 dapat tercapai. “Faktor pendukung keberhasilan tersebut meliputi dukungan kebijakan dan anggaran, kepemimpinan daerah, kolaborasi lintas sektor, serta ketepatan dalam perencanaan obat,” papar Promovenda.

Sementara itu, tantangan utama yang dihadapi mencakup keterbatasan SDM, sarana dan prasarana, sistem informasi yang belum terintegrasi, ketergantungan terhadap bahan baku impor, serta ego sektoral. Sebanyak 37 indikator, terdiri atas 22 indikator utama dan 15 pendukung, diperoleh untuk membangun dimensi resiliensi, mencakup aspek tujuan kebijakan, sumber daya, komunikasi antarlembaga, karakteristik pelaksana, lingkungan eksternal, hingga disposisi pelaksana.

Penelitian ini tidak hanya menitikberatkan pada keberhasilan implementasi kebijakan kesiapsiagaan pemerintah daerah dalam menjamin ketersediaan obat esensial, tetapi juga mengaitkannya dengan aspek resiliensi, sehingga menghasilkan rekomendasi berupa model ketahanan pemerintah daerah dalam menghadapi situasi bencana. Berdasarkan hasil disertasinya, Eme menyarankan agar Kementerian Kesehatan menyusun panduan nasional untuk menilai kesiapan pengelolaan obat, termasuk obat esensial, dalam kondisi krisis, serta memberikan bimbingan teknis dan pelatihan yang berkelanjutan bagi tenaga kesehatan di daerah.

Bagi pemerintah daerah, penting untuk memastikan alokasi anggaran yang memadai bagi pengadaan obat esensial, termasuk dana kontinjensi yang dapat diakses secara cepat dan fleksibel. “Di samping itu, peran Standar Operasional Prosedur (SOP) dalam pengelolaan obat esensial juga perlu diperkuat dan ditegakkan sebagai pedoman yang wajib diterapkan oleh seluruh pelaksana, baik di tingkat daerah maupun di fasilitas pelayanan kesehatan seperti puskesmas,” tutur Eme.

Berdasarkan hasil keputusan Ketua Sidang, Eme Stepani Sitepu dinyatakan lulus dengan predikat sangat memuaskandan meraih IPK 3,85. Ia tercatat sebagai doktor ke-463 yang diluluskan FKM UI, doktor ke-13 dari Program Studi Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) FKM UI tahun 2025, serta doktor ke-352 IKM FKM UI. Bertindak sebagai tim penguji adalah Prof. dr. Adang Bachtiar, M.P.H., D.Sc.; Prof. Dr. Susi Ari Kristina, M.Kes., Apt.; dan Dr. dr. Maxi Rein Rondonuwu, DHSM., M.A.R.S.

Sebagai institusi pendidikan tinggi yang senantiasa berkontribusi dalam pembangunan kesehatan masyarakat Indonesia, FKM UI kembali membuktikan komitmennya dalam menghasilkan doktor-doktor berkualitas. Melalui penelitian yang aplikatif dan berdampak strategis, lulusan program doktor FKM UI diharapkan mampu memperkuat sistem kesehatan nasional, khususnya di tingkat daerah. (DFD)