Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) kembali meluluskan doktor baru dalam bidang Ilmu Kesehatan Masyarakat melalui penyelenggaraan sidang promosi doktor yang berlangsung pada Sabtu, 5 Juli 2025. Sidang ini diselenggarakan secara hybrid di Ruang Promosi Doktor, Gedung G FKM UI, serta melalui platform Zoom Meeting. Dalam kesempatan ini, Andy Probowo berhasil mempertahankan disertasinya yang berjudul “Analisis Biaya dan Tarif Rawat Inap Pasien Stroke Iskemik pada Jaminan Kesehatan Nasional: Dampaknya terhadap Rumah Sakit dan BPJS Kesehatan.” Sidang dipimpin oleh Prof. dr. Amal Chalik Sjaaf, S.K.M., Dr.PH., selaku Ketua Tim Penguji.
Andy menyoroti permasalahan besar dalam pembiayaan kesehatan, khususnya terkait pembiayaan pasien stroke iskemik dalam skema Jaminan Kesehatan Nasional (JKN). Stroke merupakan salah satu penyakit katastropik dengan beban pembiayaan tinggi. Data dari Riset Kesehatan Dasar menunjukkan bahwa prevalensi stroke meningkat dari 7 per 1.000 penduduk pada tahun 2013 menjadi 10,9 pada tahun 2018. Peningkatan ini tidak hanya berdampak pada meningkatnya beban pelayanan kesehatan, tetapi juga menambah beban keuangan yang signifikan pada BPJS Kesehatan. Tercatat, stroke menjadi penyakit dengan biaya klaim ketiga tertinggi dalam program JKN, meningkat dari Rp1,4 triliun pada 2016 menjadi Rp3,2 triliun pada 2022.
Tarif INA-CBG (Indonesian Case Based Groups) adalah tarif yang digunakan dalam sistem Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) untuk membayar klaim pelayanan kesehatan di Fasilitas Kesehatan Rujukan Tingkat Lanjutan (FKRTL). Penelitian ini dilatarbelakangi oleh adanya ketidaksesuaian antara tarif INA-CBG yang masih mengacu pada regulasi tahun 2016 dengan kebutuhan biaya aktual yang telah berkembang seiring dengan terbitnya Pedoman Nasional Pelayanan Kedokteran (PNPK) stroke tahun 2019. Hal ini menimbulkan potensi defisit keuangan bagi rumah sakit, khususnya rumah sakit pemerintah seperti RS Pusat Otak Nasional (RS PON) yang menjadi lokasi studi kasus dalam penelitian ini. Penelitian Andy bertujuan untuk menghitung biaya satuan rawat inap stroke iskemik pada pasien JKN di RS PON, mengetahui determinan variabilitasnya, serta menganalisis kesesuaian tarif INA-CBG terhadap biaya aktual yang dikeluarkan oleh rumah sakit.
Melalui desain penelitian retrospektif terhadap 96 pasien stroke iskemik rawat inap selama periode Oktober hingga Desember 2019, Andy menemukan bahwa rata-rata biaya perawatan pasien mencapai Rp11.598.286 dengan standar deviasi Rp5.799.088. Biaya ini sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, seperti lama rawat inap, tekanan darah sistolik, dan skor National Institutes of Health Stroke Scale (NIHSS) saat pasien masuk rumah sakit. Dari sisi tarif, ditemukan bahwa INA-CBG yang berlaku menimbulkan defisit rata-rata sebesar Rp214.049 per pasien. Jika dikalkulasikan untuk seluruh kasus dalam setahun, defisit RS PON akibat perbedaan antara tarif dan biaya aktual mencapai Rp1,26 miliar, sementara BPJS Kesehatan justru memperoleh surplus karena membayar lebih rendah daripada biaya aktual rumah sakit.
“Temuan lainnya menunjukkan bahwa intervensi medis yang dijalani pasien sangat menentukan besar kecilnya biaya perawatan. Pasien yang menjalani terapi trombolisis memiliki rata-rata biaya Rp23.383.891, jauh lebih tinggi dibandingkan pasien tanpa terapi tersebut,” jelas Promovendus. Komponen biaya terbesar berasal dari kamar rawat inap, radiologi, dan laboratorium, yang secara keseluruhan menyumbang 67,2% dari total biaya. Variasi tinggi pada layanan radiologi disebabkan oleh kebutuhan pemeriksaan canggih seperti MRI dan radiologi kontras, terutama pada pasien stroke berat.
Hasil regresi multipel menunjukkan bahwa lama rawat inap, tekanan darah sistolik, dan skor NIHSS merupakan determinan signifikan dari variasi biaya satuan. Sementara itu, analisis jalur mengungkap bahwa tingkat keparahan stroke menjadi faktor utama yang memengaruhi lamanya pasien dirawat. Ketidaksesuaian antara tarif INA-CBG dan biaya aktual membuat rumah sakit terpaksa melakukan subsidi silang, yakni menutup defisit pasien tertentu dengan surplus dari pasien lainnya. “Namun, skema ini tidak berkelanjutan dan berisiko mengganggu stabilitas operasional rumah sakit dalam jangka panjang,” sambungnya.
Berdasarkan hasil penelitian ini, Andy merekomendasikan sejumlah langkah strategis. Di antaranya, rumah sakit perlu mempercepat waktu respons kegawatdaruratan untuk menurunkan keparahan stroke dan memperpendek masa rawat. Pengendalian hipertensi sebagai faktor risiko utama stroke juga harus menjadi perhatian lintas sektor. Kementerian Kesehatan disarankan untuk meninjau ulang struktur tarif INA-CBG agar selaras dengan biaya satuan yang sesungguhnya, serta mendorong penguatan implementasi PNPK sebagai panduan standar. “Selain itu, BPJS Kesehatan dan Kemenkes diharapkan memberdayakan RS PON sebagai rumah sakit pengampu bagi rumah sakit lainnya, serta mempertimbangkan penambahan paket manfaat rehabilitasi medik pasca-rawat inap, mengingat pentingnya fase pemulihan jangka panjang bagi pasien stroke,” papar Andy.
Selama proses penyusunan disertasi, Andy Probowo dibimbing oleh tim promotor yang terdiri atas Prof. dr. Ascobat Gani, M.P.H., Dr.PH sebagai Promotor, serta Prof. Dr. drg. Mardiati Nadjib, M.S. sebagai Ko-promotor. Tim penguji terdiri atas Prof. Dr. Dra. Erna Kristin, Apt., M.Si.; Prof. dr. Meiwita P. Budiharsana, M.P.A., Ph.D.; Dr. dr. Mahlil Ruby, M.Kes.; dan dr. Mursyid Bustami, Sp.S(K), KIC, M.A.R.S. Dalam sidang promosi tersebut, Andy berhasil mempertahankan disertasinya dan meraih gelar Doktor Ilmu Kesehatan Masyarakat dengan yudisium Sangat Memuaskan serta Indeks Prestasi Kumulatif (IPK) 3,81.
Keberhasilan Andy Probowo menambah daftar ilmuwan di bidang kebijakan dan pembiayaan kesehatan yang dihasilkan FKM UI. Temuan dalam disertasinya diharapkan dapat menjadi rujukan penting dalam reformasi pembiayaan JKN dan mendorong kebijakan tarif yang lebih adil dan berkelanjutan bagi seluruh pemangku kepentingan, baik rumah sakit, BPJS Kesehatan, maupun masyarakat. (DFD)