Dalam rangka menanggapi perkembangan pandemi COVID-19 di Indonesia, FKM UI kembali mengadakan Web Seminar (Webinar Series) yang ke-3 pada Rabu, 13 Mei 2020. Pembicara yang menjadi narasumber kali ini adalah Prof. dr. Hadi Pratomo, MPH, DrPH., dari Departemen Promosi Kesehatan dan Ilmu Perilaku FKM UI serta Dr. Al Asyari, SKM, MPH dari Departemen Kesehatan Lingkungan FKM UI. Kedua Narasumber merupakan tenaga pengajar dari FKM UI.
Webinar kali ini dimoderasi oleh Dr. Robiana Modjo, SKM, M.Kes, Manajer Pendidikan FKM UI dan dibuka oleh Pj. Dekan FKM UI, Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, M.Sc, lewat opening remarks. Dalam pidato pembukanya Doktor Sabarinah mengungkapkan kondisi Indonesia yang masuk dalam kondisi kedaruratan masyarakat. Kondisi tersebut tentu menjadikan prinsip kesehatan masyarakat menjadi sesuatu yang diyakini untuk diimplementasikan nantinya. Prinsip kesehatan masyarakat terdiri dari dua kata kunci, yaitu ‘pencegahan’ dan ‘pengorganisasian masyarakat’. Lebih lanjut, salah satu bentuk pencegahan yang bisa diterapkan adalah social distancing dan/atau physical distancing yang menjadi pokok bahasan pada webinar kali ini.
Upaya Kesehatan Masyarakat lewat ‘Social Distancing’ hingga ‘Physical Distancing’ dalam Menghadapi Pandemi COVID-19
Sesi pemaparan materi pertama webinar 3 FKM UI disampaikan oleh Prof. Hadi dengan topik ‘From Social Distance to Physical Distance: Practicing Public Health Against Covid-19’. Pada pemaparannya, Prof. Hadi menyampaikan mengenai bagaimana latar belakang hingga kedua konsep social distancing dan physical distancing yang menjadi upaya dalam menghadapi pandemi COVID-19.
Prof. Hadi menyampaikan, bahwa pada perkembangannya istilah social distancing sebenarnya sudah ada sejak 35 tahun yang lalu. Hal ini dikatakan oleh Peter Guy Northouse pada buku ‘Health Communication: A Handbook for Health Professionals’ yang mengungkapkan salah satu bidang kinesics atau studi tentang gerak tubuh dalam bentuk komunikasi sudah mengartikan wujud dari social distancing.
Selain itu, dimensi ‘proxemics’ yang disampaikan oleh Hall pada tahun 1966 pun relevan dengan social distancing yang berbentuk interaksi individu bergantung pada ruang dan waktu. Dari kedua hal tersebut, bisa dikatakan penerapan social distancing berasal dari ilmu komunikasi kesehatan. Lebih lanjut, penerapan secara teori social distancing dilakukan oleh setiap individu yang saling berinteraksi pada jarak aman terpisah 6 kaki atau 2 meter. Hal ini bertujuan untuk menghindari dan mencegah pasien dari virus corona yang tertular melalui droplet.
Prof. Hadi menambahkan bahwa perubahan social distancing menjadi physical distancing dikarenakan sifat natural dari manusia yang membutuhkan satu sama lain. Hal ini diperkuat oleh pendapat epidemiolog badan kesehatan dunia, WHO, Maria van Kerkhove yang mengungkapkan bahwa penggantian istilah menjadi physical distancing dilakukan lantaran manusia harus tetap terhubung di kala pandemi COVID-19 mewabah.
“Dengan menggunakan konsep physical distancing rasanya lebih tepat, karena kita masih bisa terhubung secara sosial, karena kenyataannya manusia tak lepas dari interaksi sosial berkat adanya media penghubung seperti internet” ungkap Prof. Hadi.
Berkaca pada penelitian, physical distancing dapat mereduksi hingga hampir 25 persen attack rate dan peak attack rate dari virus. Namun, intervensi physical distancing dapat lebih cepat dan maksimal apabila dilakukan dengan tambahan intervensi non-farmakologis atau intervensi tanpa obat. Contoh yang bisa diterapkan adalah dengan pembatasan aktivitas di luar ruangan dan pembatasan transportasi.
Peningkatan Kesembuhan COVID-19 dengan Sinar Matahari
Pada pemaparan kali ini, Doktor Al menyampaikan bahwa penelitian yang dilakukan adalah mengenai peranan sinar matahari dengan peningkatan kesembuhan dari COVID-19. Penelitian ini dilakukan dengan melihat lingkungan (environment) yang menjadi perantara bagi agent dan host dalam kasus pandemi COVID-19.
Berdasarkan fakta, COVID-19 adalah penyakit yang dapat menyerang sistem kekebalan tubuh dan umumnya ditemukan pada organ sistem pernapasan. Secara angka, memang hanya 3 persen orang yang terinfeksi virus menjadi sakit, namun yang perlu menjadi perhatian adalah tingkat kematian dari kasus yang terus menunjukkan perkembangan sebanyak 4,5 hingga 5 persen di negara berkembang yang cenderung masih diragukan dari sisi ilmiah, termasuk Indonesia.
Hal tersebut yang menjadikan perlu adanya alternatif penanganan dan pencegahan dari sisi lain mengingat belum tersedianya vaksin sampai saat ini. Salah satunya adalah dengan peningkatan sistem imun lewat sinar matahari untuk menangani pandemi COVID-19 ini.
“Dengan menggunakan sinar matahari sebagai media untuk penguatan sistem imun yang mudah, murah, dan dekat dengan masyarakat”,ungkap Dr. Al. Hal tersebut pun menjadi potensi maksimal yang dapat dilakukan bagi masyarakat mengingat keadaan alam Indonesia yang diberkahi sinar matahari yang 10 kali lipat jika dibandingkan dengan negara di benua Eropa.
Berkaca pada kasus penyakit serupa COVID-19 yang juga menyerang sistem imun yaitu tuberkulosis, penanganan dengan paparan sinar matahari berpotensi untuk menagani COVID-19. Peningkatan sistem imun yang dilakukan dengan sinar matahari sudah dilakukan untuk menangani tuberkulosis bahkan sebelum ditemukannya vaksin atau obat. Caranya yaitu dengan menggunakan fasilitas sanatorium yang dipadukan dengan penjagaan intake status gizi dari penderita tuberkulosis.
Lebih lanjut berdasarkan preliminary study yang dilakukan terhadap data sekunder dari portal resmi COVID-19 dan data laporan harian sinar matahari dari BMKG, terdapat kolerasi positif antara keduanya. Paparan sinar matahari terhadap kasus yang meningkat ternyata memungkinkan berujung pada kesembuhan dari kasus-kasus tersebut. Selain itu, paparan sinar matahari juga membantu terhadap penurunan kasus kematian di Surabaya.
Tentunya, studi yang dipaparkan oleh Doktor Al memiliki beberapa keterbatasan seperti penanganan yang tepat, PHBS-Germas, dan kapabilitas dari tubuh masing-masing orang. Sinar matahari pun memiliki risiko terjadinya radiasi UV-A dan apabila tak ada kontrol yang dilakukan terhadap pasien COVID-19 dapat pula menyebabkan bias pada penelitian ini.