Bahas Permasalahan Stres Digital Berbasis Epidemiologi, FKM UI Selenggarakan Seminar Online Seri 23

Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) kembali menggelar Seminar Online (SEMOL) FKM UI Seri 23 dengan tajuk “Strategi Intervensi Permasalahan Stres Digital: Dampak Teknologi dan Media Sosial terhadap Kesehatan Mental dengan Pendekatan Berbasis Epidemiologi” pada Sabtu, 9 November 2024. Mengundang dua pembicara ahli, Semol FKM UI Seri 23 membahas secara holistik dampak teknologi dan media sosial terhadap kesehatan mental.

Manajer Pendidikan FKM UI, Dr. Laila Fitria, S.K.M., M.K.M., menyampaikan dukungannya di dalam sambutan yang diberikan. “Seminar ini mengangkat tema yang sangat relevan dengan dinamika saat ini. Stress digital mempengaruhi banyak orang dari berbagai kalangan usia. Kami berharap, melalui seminar ini dapat memfasilitasi diskusi yang komprehensif untuk menggali solusi yang bisa kita terapkan bersama untuk menghadapi isu ini,” tutur Dr. Laila.

Sejalan dengan Dr. Laila, Dr. dr. Helda, M.Kes., Ketua Program Studi Magister Epidemiologi FKM UI menyampaikan, “Kita melihat belakangan ini ada kecenderungan peningkatan kasus terkait stres dan gangguan kesehatan jiwa. Untuk itu, pemahaman akan fenomena ini terutama dengan pendekatan epidemiologi sangat penting agar mampu melihat permasalahan dari akarnya. Seminar Ini akan mengulas lebih dalam mengenai pola-pola stres digital, dampaknya pada kesehatan mental, serta strategi intervensi yang dapat dilakukan.”

Pembicara pertama, Dr. Lucia Maya Savitri, M.A.R.S., Ketua Tim Kerja Promosi Kesehatan Jiwa dan Kemitraan, Direktorat Kesehatan Jiwa, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan RI, menyampaikan materi yang berjudul “Gambaran Situasi Terkini Kesehatan Mental Global dan di Indonesia serta Penanggulangan dan Kebijakannya”. Disebutkan dalam pemaparannya, sebanyak 970 juta penduduk dunia hidup dengan masalah kesehatan jiwa. Akan tetapi, 71% orang tersebut tidak menerima layanan kesehatan jiwa dengan masih kurangnya sumber daya yang dialokasikan untuk kesehatan jiwa yaitu rata-rata 2% dari biaya kesehatan.

Sementara itu, di Indonesia, gangguan kesehatan jiwa menjadi penyebab kedua YLDs (Years Lived with Disability). Depresi, ansietas, dan skizofrenia merupakan tiga gangguan dengan prevalensi tertinggi yang mirip dengan kejadian global. “Banyaknya kasus gangguan kesehatan jiwa, menjadi PR bagi kita untuk meningkatkan literasi kesehatan jiwa, karena hal ini sama pentingnya dengan kesehatan fisik. Tidak ada kesehatan tanpa kesehatan jiwa di dalamnya,” tutur Dr. Lucia.

Kendati demikian, Kementerian Kesehatan telah melaksanakan Transformasi Layanan Kesehatan melalui penguatan layanan primer dan layanan kesehatan jiwa yang terintegrasi di dalamnya. Dilaksanakan secara komprehensif di seluruh siklus hidup, dimulai dari upaya promotif hingga rehabilitatif. Dr. Lucia pun menyampaikan bahwa penguatan dan kolaborasi lintas program dan lintas sektor dilakukan untuk mendukung layanan kesehatan jiwa.

Lebih lanjut, Dr. Ashra Vina Daswin, Praktisi Bidang Kesehatan Mental, membawakan materi yang berjudul “Stress Digital, Dampak dari Penggunaan Teknologi dan Media Sosial terhadap Kesehatan Mental, serta Strategi Pengendaliannya dengan Pendekatan Epidemiologi”.

Digital stress didefinisikan sebagai kesulitan menghadapi teknologi baru dengan cara yang sehat. Kondisi stres dan kecemasan ini disebabkan oleh pemberitahuan yang aktif dari penggunaan teknologi informasi dan komunikasi melalui media seluler maupun sosial. Disampaikan oleh Dr. Ashra bahwa sejak pandemi COVID-19, penggunaan teknologi sebagai alat komunikasi, tempat bekerja, sumber informasi dan hiburan meningkat secara signifikan diikuti dengan meningkatnya angka digital fatigue dan well-being worries. “Sebanyak 40% orang terkoneksi lebih banyak secara digital dibandingkan secara fisik di dunia nyata serta sekitar 64% menyatakan bahwa mereka membangun koneksi yang bermakna dengan orang lain,” tutur Dr. Ashra membahas terkait persentase seseorang terhadap pandangannya menggunakan teknologi.

Dijelaskan bahwa setidaknya terdapat empat penyebab digital stres, yakni Always on Culture (seolah mengharuskan kita memiliki 24 jam untuk bisa berinteraksi dengan orang lain), Information Overload (terlalu banyak mendapatkan informasi sehingga tidak ada waktu untuk menganalisisnya), Digital Multitasking (adanya kebutuhan kognitif untuk menavigasi setiap aplikasi platform dan pekerjaan secara online), dan Unclear Boundaries (ketidakjelasan pada batasan kerja).

Kendati demikian, sudah banyak negara di dunia termasuk Indonesia yang memiliki berbagai kebijakan dalam menanggulangi permasalahan ini. “Saat ini, sektor kesehatan bukan lagi menjadi satu-satunya sektor yang melakukan upaya pencegahan pada stres, namun banyak dari sektor non-kesehatan ikut berperan di dalamnya. Hal ini terbukti dengan banyaknya jurnal terkait digital stress dan kesehatan di tempat kerja yang banyak dikeluarkan oleh perusahaan konservatif dibandingkan perusahaan atau jurnal terkait kesehatan,” terang Dr. Ashra.

Diharapkan, kolaborasi lintas sektor dan peningkatan literasi kesehatan jiwa dapat memberikan solusi yang lebih komprehensif dalam mengurangi dampak stres digital, sehingga masyarakat dapat menjalani kehidupan yang lebih sehat dan seimbang di tengah perkembangan teknologi yang semakin pesat. Seminar ini diharapkan menjadi langkah awal yang baik bagi upaya bersama dalam menciptakan lingkungan yang lebih mendukung kesehatan mental di era digital ini. (ITM)