Penelitian terkini di Indonesia menemukan kaitan erat antara swamedikasi antibiotik dan resistensi neisseria gonorrhoeae, bakteri penyebab gonore yang sering dikenal sebagai kencing nanah. Mengemukakan isu yang sama, Nurhayati, memaparkan disertasi dalam sidang terbuka promosi doktor Epidemiologi FKM UI dengan judul “Praktik Swamedikasi Antibiotik dan Resistensi Neisseria Gonorrhoeae Menggunakan Deteksi Molekuler pada Populasi Kunci di Indonesia” pada 12 Januari 2024 di Ruang Promosi Doktor FKM UI.
Penelitian ini menggunakan metode deteksi molekuler dan real-time PCR, untuk mengeksplorasi pola resistensi dan perilaku swamedikasi antibiotik khususnya di kalangan populasi kunci.
Menurut WHO, pada tahun 2020 diperkirakan ada 82,4 juta kasus gonore di seluruh dunia pada orang dewasa berusia 15-49 tahun, dengan tingkat prevalensi tertinggi di Afrika dan Pasifik Barat. Di Indonesia, prevalensi gonore pada tahun 2015 berdasarkan Survei Terpadu Biologis dan Perilaku (STBP) mencapai 21,2% pada Wanita Pekerja Seks, 12,7% pada Lelaki Seks dengan Lelaki, dan 12,2% pada Waria.
Swamedikasi sendiri merupakan praktik penggunaan antibiotik tanpa resep dokter, yang ternyata cukup umum di Indonesia. Data Riskesdas tahun 2013 menunjukkan bahwa 86% rumah tangga di Indonesia menyimpan antibiotik untuk penggunaan kembali. Penelitian terbaru ini mengungkap bahwa praktik ini juga umum di kalangan populasi kunci yang mengalami gejala infeksi menular seksual.
Hasil studi menunjukkan tingkat resistensi gonore yang mengkhawatirkan. Sampel dari STBP menunjukkan 94% resistensi terhadap siprofloksasin dan 84% terhadap penisilin. Sementara itu, data dari klinik kesehatan seksual menunjukkan 90% resistensi terhadap siprofloksasin, 71% terhadap penisilin, dan 8% terhadap sefalosporin. Analisis lebih lanjut menemukan bahwa praktik swamedikasi, khususnya dengan penisilin, meningkatkan risiko resistensi gonore, dipengaruhi oleh pendapatan responden.
“Swamedikasi bukan hanya masalah pribadi, tetapi sudah menjadi isu kesehatan masyarakat yang memerlukan tanggapan komprehensif dan sensitif,” ujar Nurhayati. “Kita perlu bekerja sama untuk menyediakan sumber daya, pendidikan, dan layanan kesehatan yang lebih baik dan inklusif, khususnya bagi populasi kunci,” tambah Nurhayati.
Penelitian ini merekomendasikan peningkatan penyuluhan kesehatan, regulasi penjualan antibiotik yang lebih ketat, dan pengembangan sistem surveilans kesehatan. Penting juga untuk menyediakan layanan kesehatan yang inklusif dan ramah bagi populasi kunci, agar mereka dapat mengakses perawatan yang dibutuhkan tanpa rasa takut atau diskriminasi.
Penelitian ini menekankan pentingnya intervensi yang ditujukan untuk mengurangi swamedikasi antibiotik dan pemantauan berkala resistensi gonore sebagai bagian dari strategi menghadapi tantangan kesehatan masyarakat ini.
Berdasarkan hasil disertasinya tersebut, Nurhayati berhasil dinyatakan sebagai Doktor dalam bidang ilmu Epidemiologi. Nurhayati merupakan lulusan S3 Epidemiologi tahun 2024 yang ke-1, lulusan S3 Epidemiologi yang ke-105 dan lulusan S3 di FKM UI yang ke-393.
Sidang terbuka promosi doktor ini dipimpin oleh Prof. drg. Nurhayati Adnan Prihartono, M.P.H., M.Sc., Sc.D., sebagai Ketua Sidang, dengan Promotor Prof. Dr. dr. Sudarto Ronoatmodjo, S.K.M., M.Sc., dan Prof. dr. Mondastri Korib Sudaryo, M.S., D.Sc., serta Prof. dr. Agus Syahrurachman, Ph.D., SpMK., sebagai Ko-Promotor. Tim penguji terdiri dari Dr. dr. Tri Yunis Miko Wahyono, M.Sc.; Prof. dr. Pande Putu Januraga, M.Kes., Dr.PH.; Dr. dr. Zen Hafy, M.Biomed.; Dr. Soewarta Kosen, M.D., M.P.H., Dr. PH.; Dr. dr. Hariadi Wibisono, M.P.H.; serta Prof. dr. Hadi Pratomo, M.P.H., Dr.PH.