Sebagai negara rawan bencana, Indonesia perlu memiliki strategi dan kebijakan pengurangan risiko bencana untuk mengurangi kerugian yang ditimbulkan. Oleh karena itu, mahasiswa S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat (IKM) dan S2 Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) berkolaborasi dalam menyelenggarakan SEMOL FKM UI Seri 11 bertajuk “Membangun Indonesia Tangguh Bencana: Mengurangi Risiko Bencana Melalui Government & Governance“. Diselenggarakan pada Sabtu, 8 Juni 2024, webinar ini menghadirkan empat pembicara dari bidang yang berbeda untuk memberikan perspektif kebencanaan secara holistik.
Hadir sebagai keynote speaker, Prof. Drs. Bambang Wispriyono, Apt., Ph.D., Guru Besar FKM UI. Melalui presentasinya, Prof. Bambang menekankan pentingnya peran institusi dalam pengurangan risiko bencana. ”Indonesia adalah negara rawan bencana. Mulai dari banjir, bencana vulkanik, longsor, semua terjadi di negeri kita. Dalam mengatasi hal ini, dibutuhkan tata kelola pemerintahan yang fokus mendorong masyarakat untuk mampu melakukan kesiapsiagaan bencana. Dibutuhkan pula komitmen dan kerja sama dari berbagai pihak, tidak terbatas dari pemerintah saja,” tutur Prof. Bambang.
Direktur Direktorat Kesiapsiagaan BNPB, Drs. Pangarso Suryotomo, kemudian menjelaskan strategi membangun ketangguhan bangsa dalam menghadapi bencana. ”Kita semua tahu bahwa Indonesia adalah negeri rawan bencana. Kalau kita tidak melakukan apa-apa, masyarakat menjadi korban dan kerugian serta kerusakan akibat bencana akan terus meningkat. Oleh karena itu, tujuan penanggulangan bencana adalah untuk melindungi seluruh tumpah darah Indonesia,” ujar Drs. Pangarso. Saat ini, Indonesia memiliki Standar Pelayanan Minimal (SPM) bencana yang terdiri dari informasi rawan bencana, pencegahan dan kesiapsiagaan terhadap bencana, serta penyelamatan dan evakuasi korban bencana. Namun, bencana merupakan urusan bersama, bukan urusan pemerintah saja. Semua elemen dalam masyarakat, mulai dari pemerintah, akademisi, swasta, media, hingga komunitas masyarakat dapat saling berkolaborasi untuk membangun bangsa yang tangguh bencana. “Perguruan tinggi dapat berkontribusi membangun ketangguhan bencana dengan cara membuat inovasi untuk mengurangi risiko bencana, melaksanakan monitoring dan evaluasi penanganan bencana, serta memberikan rekomendasi kepada pemerintah dan masyarakat,” tutur Drs. Pangarso.
“Saat ini dunia sudah dalam situasi genting. Pada Perjanjian Paris tahun 2005, para pemimpin dunia sudah sepakat untuk menjaga temperatur bumi agar tidak meningkat melebihi 1,5°C karena akan ada perubahan signifikan yang terjadi. Terbukti sekarang, ketika kita sudah melanggar perjanjian tersebut, banyak bencana alam yang terjadi di berbagai belahan bumi. Setiap harinya, kita melampaui rekor temperatur kita sendiri dan membuat suhu bumi terus meningkat,” terang Prof. Benjamin Horton, Direktur Earth Observatory Nanyang Technology University Singapura, dalam paparannya mengenai dampak pemanasan global terhadap dunia. Prof. Benjamin terus menekankan bahwa suhu dunia saat ini sudah berbahaya bagi kesehatan manusia. Bahkan, musim panas tahun 2023 tercatat sebagai suhu terpanas yang dialami bumi selama 2000 tahun terakhir. Untuk itu, penduduk dunia harus berkomitmen untuk menjaga dan merawat sumber daya alam sebagai penyimpan karbon, serta mengurangi emisi karbon.
Lebih lanjut, Dr. Evi Widowati, S.K.M., M.Kes., Dosen Kesehatan Masyarakat Universitas Negeri Semarang memaparkan mengenai membangun kesiapsiagaan bencana melalui pendekatan di bidang pendidikan. Anak-anak termasuk dalam kelompok yang rentan terhadap bencana dan bahaya lain seperti kecelakaan dan kekerasan. Namun, sampai saat ini, sekolah belum menjadi tempat yang aman dan ramah bagi anak. Terbukti dari data kerusakan akibat bencana, 63% kerusakannya merupakan kerusakan fasilitas pendidikan. Selain itu, sampai saat ini pun persentase kecelakaan dan kekerasan di institusi pendidikan masih mengkhawatirkan. Menurut Dr. Evi, sekolah sebagai institusi pendidikan membutuhkan pendidikan keselamatan yang dimulai sejak dini. ”Di sekolah, siswa akan lebih terkondisikan, baik secara emosi, sosial, maupun budaya sehingga sekolah merupakan tempat yang ideal untuk menanamkan sebuah nilai. Pembekalan keselamatan tidak cukup dilakukan dengan ceramah saja, melainkan harus diintegrasikan pada sistem pendidikan yang ada. Oleh karena itu, yang belajar nanti bukan hanya siswa, tapi gurunya juga belajar,” tutur Dr. Evi.
Pembicara terakhir, Ir. Subkhan, MPSDA., sebagai Ketua Forum QHSE BUMN dan Direktur Utama Waskita Jawa Toliroad memberikan perspektif kebencanaan dari kacamata industri. ”Tidak ada perusahaan yang kebal dengan risiko bencana. Setiap operasi atau aktivitas yang dilakukan pasti ada bahayanya. Jika bahaya ini tidak dikelola dengan baik, akan berpotensi menimbulkan bencana, seperti banjir, tsunami, kekeringan, serta bahaya intangible, seperti bahaya kesehatan, pencemaran lingkungan, dan stress psikologi,” terang Ir. Subkhan. Untuk memenuhi tanggung jawab sosial perusahaan terhadap lingkungan, pelanggan, karyawan, dan investor, industri di Indonesia sudah memiliki beberapa strategi untuk mengurangi risiko bencana. Mulai dari meletakkan pengurangan risiko bencana sebagai prioritas nasional, mengidentifikasi risiko bencana dan peringatan dini dengan sistem manajemen terintegrasi, memanfaatkan pengetahuan yang ada, mengurangi faktor penyebab risiko bencana, hingga memperkuat kesiapsiagaan bencana pada semua level organisasi, harapannya industri-industri di Indonesia menjadi industri yang tangguh terhadap bencana. (WR)