FKM UI Bahas Tanggap Darurat Perubahan Iklim Berbasis Masyarakat pada Semol Seri 4

Bencana akibat perubahan iklim memiliki dampak buruk pada kesehatan manusia. Untuk itu, Program Magister Kesehatan Lingkungan Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) mengadakan Seminar Online bertajuk “Emergency Response of Climate Change: Community Based WASH (Water, Sanitation, and Hygiene) Intervention” pada Sabtu, 24 Juni 2023.”Air, sanitasi, dan kebersihan sangat diperlukan dalam bencana. Intervensi berbasis komunitas ini menjadi salah satu upaya dalam menghadapi bencana akibat perubahan iklim. Tidak hanya bergantung pada pemerintah, tapi masyarakat juga bisa bergotong-royong dalam keadaan tanggap darurat,” ujar Dr. Ir. Asih Setiarini, M.Sc., Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan FKM UI dalam sambutan pembuka.

Kepala Pusat Layanan Informasi Iklim Terapan BMKG, Dr. Ardhasena Sopaheluwakan, memaparkan materi mengenai “Perubahan Iklim, Risiko Bencana, dan Layanan Iklim Terapan di Indonesia”. Suhu dunia semakin meningkat setiap tahunnya. Sampai saat ini, tahun 2016 tercatat sebagai tahun dengan suhu tertinggi. Namun, melihat kondisi yang terjadi, tahun 2024 kelak diprediksi akan menjadi tahun terpanas yang dialami dunia.”Di tahun-tahun sebelumnya, dunia sudah mengadakan Kyoto Protocol dan Paris Agreement. Salah satu poin yang disepakati adalah kita harus membatasi kenaikan suhu dunia sampai di bawah 1,5°C. Namun kenyataannya, kenaikan suhu dunia diprediksi akan mencapai 1,5°C pada tahun 2032—2050. Kesepakatan ini juga ternyata belum memiliki pengaruh positif terhadap konsentrasi CO2,” tutur Dr. Ardhasena. Di Indonesia sendiri, bencana yang berhubungan dengan hydro cenderung menelan lebih banyak korban jiwa, sedangkan bencana yang berkaitan dengan geofisik cenderung menimbulkan kerugian ekonomi yang lebih besar.

Polusi udara dan perubahan iklim disebut-sebut sebagai peringkat satu ancaman global terhadap kesehatan. Perubahan iklim, seperti peningkatan temperature, cuaca ekstrem, peningkatan level air laut, dan peningkatan konsentrasi CO2 memiliki banyak dampak buruk terhadap kesehatan. Penyakit yang banyak terjadi di antaranya penyakit tular vektor (malaria, dengue), penyakit pernapasan, kolera, diare, asthma, penyakit jantung, cedera, dan lain-lain.”Indonesia berpotensi mengalami kerugian sebesar 1,8% dari Produk Domestik Bruto atau sebesar 300 triliun akibat suhu dan curah hujan yang berubah. Hal ini dapat terjadi karena suhu dan curah hujan memengaruhi peningkatan prevalensi penyakit, mengurangi produktivitas pekerja, serta dapat menimbulkan bencana,” terang Dr. Perdinan, Ph.D., MNRE, Ketua Departemen Diaspora DPP HA IPB, Deputi Direktur SEAMEO BIOTROP, dan Dosen Institut Pertanian Bogor (IPB).

Lebih lanjut, Wahyu Akbar M.E selaku Wakil Sekretaris PMI Kota Palangka Raya dan Tim WASH PMI kemudian memaparkan materi mengenai “WASH in Indonesia and Impact of Climate Change”. WASH atau Water, Sanitation, and Hygiene merupakan aktivitas untuk memastikan bahwa masyarakat akan mendapat akses ke air bersih, sarana sanitasi yang layak, dan akan mengadopsi perilaku bersih. Tujuan WASH adalah untuk mencapai kesehatan yang lebih baik serta memulihkan martabat, terutama dalam situasi bencana. Saat ini, WASH juga sudah tercantum dalam Standar SPHERE, sebuah pedoman standar minimum yang harus terpenuhi dalam situasi bencana.”Pemenuhan WASH ini sangat penting karena memang tercantum dalam undang-undang dan regulasi internasional. PMI sendiri memiliki beberapa area fokus WASH, yaitu emergency WASH, pembangunan WASH, WASH kesehatan masyarakat, dan WASH perkotaan,” tutur Wahyu. Intervensi WASH pada masa darurat juga dibagi menjadi tiga tahap, yaitu ketika respons masa darurat, masa pemulihan awal, serta masa pemulihan kembali dan pengembangan.

Materi mengenai “Kesiapsiagaan Masyarakat dalam Upaya Tanggap Darurat Bencana di Sektor WASH” kemudian dibawakan oleh Ujang Dede Lesmana, Instruktur Pusdiklat Kebencanaan BNPB & Dosen UIMA.”Berdasarkan data, bencana yang banyak terjadi di Indonesia itu berkaitan dengan air. Bisa jadi banjir, tanah longsor, kekeringan, atau kebakaran hutan dan lahan. Intinya, kelebihan atau kekurangan air dapat menjadi masalah di masyarakat. Oleh karena itu, masyarakat Indonesia harus dibentuk menjadi masyarakat yang tangguh dan siaga,” tutur Ujang. Kesiapsiagaan masyarakat sendiri dapat didefinisikan sebagai kondisi pada masyarakat yang memiliki kemampuan secara fisik dan psikis dalam menghadapi ancaman bencana. Keberhasilan kesiapsiagaan masyarakat dapat dilihat dari peringatan dini dan reaksinya, penanganan awal oleh masyarakat setempat, asesmen bencana, serta komunikasi yang terjaga antara masyarakat dengan badan penolong bencana.”Dari hasil survei yang dilakukan oleh Japan Association for Science and Engineering, pertolongan ketika bencana itu paling besar datangnya dari diri sendiri”.

Seminar yang diikuti oleh 900 orang peserta ini diharapkan dapat membangun kesadaran serta meningkatkan pengetahuan masyarakat akan pentingnya intervensi berbasis komunitas, terutama dalam hal bencana akibat perubahan iklim. (WR)