FKM UI Hadirkan Profesor University of Otago dalam Kuliah Umum Strategi Kesehatan Publik untuk Pengendalian Garam dan Penyakit Kardiovaskular

Depok, 1 September 2025 – Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) kembali menegaskan komitmennya dalam memperluas jejaring akademik internasional dan memperkaya wawasan sivitas melalui penyelenggaraan kuliah umum bertajuk “Public Health Approaches to Reducing Dietary Sodium or Salt and Reducing Cardiovascular Disease Research from Aotearoa, New Zealand.”

Kuliah umum yang digelar secara daring melalui Zoom Meeting ini diintegrasikan ke dalam Mata Kuliah Dasar Kesehatan Masyarakat untuk mahasiswa S-1 Reguler semester pertama. Acara dibuka oleh Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan FKM UI, Dr. Ir. Asih Setiarini, M.Sc. Dalam sambutannya, Dr. Asih menekankan pentingnya belajar dari strategi kesehatan masyarakat berbasis bukti dari negara lain, seperti Selandia Baru, dalam upaya mengurangi konsumsi natrium. “Asupan garam berlebih merupakan salah satu penyebab utama hipertensi, yang kemudian menjadi faktor risiko penyakit kardiovaskular, dimana ini menjadi penyebab kematian tertinggi di dunia, termasuk di Indonesia,” ujar Dr. Asih.

Narasumber utama, Professor Rachel McLean dari University of Otago, Selandia Baru, menjelaskan bahwa penyakit kardiovaskular, khususnya jantung koroner dan stroke, masih menjadi penyebab utama kematian di Selandia Baru. Risiko kematian bahkan lebih tinggi pada etnis Māori dan Pasifik dibandingkan kelompok Eropa, dengan konsumsi garam berlebih sebagai faktor pemicu utama.

Berdasarkan penelitiannya, rata-rata konsumsi garam masyarakat Selandia Baru mencapai 3.400 mg per hari, hampir dua kali lipat dari rekomendasi WHO yaitu 2.000 mg. Pola makan tinggi garam, kata Prof. Rachel, turut meningkatkan risiko hipertensi, diabetes, dan obesitas—kondisi yang juga serupa di Indonesia. Ia juga membagikan pengalamannya bekerja sama dengan mahasiswa doktoral internasional, termasuk dari Indonesia, dalam riset obesitas dan gizi dengan data Indonesian Family Life Survey. “Mengurangi asupan garam adalah langkah krusial untuk menurunkan hipertensi dan penyakit jantung. Namun, tantangan utamanya adalah garam tersembunyi dalam makanan olahan dan produk industri,” jelas Prof. McLean.

Menjawab tantangan tersebut, Prof. McLean memperkenalkan strategi SHAKE dari WHO: Surveillance (pemantauan konsumsi garam), Harness Industry (reformulasi produk pangan), Adopt Standards (regulasi dan pelabelan gizi), Knowledge (edukasi masyarakat), dan Environment (lingkungan pendukung pola makan sehat). Ia menekankan pentingnya kombinasi edukasi, regulasi pemerintah, dukungan industri, dan perubahan lingkungan agar pola makan sehat dapat terwujud secara luas dan berkelanjutan.

Diskusi berlangsung interaktif dengan berbagai pertanyaan mahasiswa. Salah satunya terkait jajanan tinggi garam di sekitar Sekolah Dasar. Prof. McLean menekankan perlunya regulasi dan intervensi berbasis komunitas, karena kebiasaan makan anak terbentuk sejak dini. “Jika anak-anak terbiasa dengan makanan tinggi garam, mereka akan sulit mengubah pola makan di kemudian hari. Kolaborasi sekolah, keluarga, dan pemerintah sangat penting untuk melindungi mereka,” ujarnya.

Menanggapi pertanyaan lain mengenai efektivitas regulasi, Prof. McLean menegaskan bahwa kebijakan publik yang tegas terbukti lebih efektif dibandingkan pendekatan sukarela. Ia mencontohkan keberhasilan regulasi pengendalian tembakau yang mencakup pelabelan gizi, pembatasan iklan, hingga penerapan pajak pada produk tidak sehat.

Moderator kuliah, dr. Fathimah S. Sigit, M.Res., Ph.D., kemudian menyimpulkan bahwa meski konsumsi garam harian masyarakat Indonesia masih dua kali lipat dari rekomendasi WHO, pengalaman Selandia Baru dalam riset dan strategi pengendalian garam dapat menjadi referensi penting dalam memperkuat promosi kesehatan di Indonesia.

Melalui kuliah umum ini, FKM UI meneguhkan perannya sebagai institusi pendidikan yang menghadirkan pembelajaran global yang relevan dengan tantangan kesehatan nasional, sekaligus memperkuat kolaborasi akademik internasional. (EAR)