Indonesia dikenal sebagai salah satu negara dengan tingkat kerentanan bencana alam tertinggi di dunia, seperti gempa bumi, tsunami, letusan gunung berapi, banjir, dan tanah longsor. Selain kerentanan bencana alam tersebut, meningkatnya aktivitas industri kimia di kawasan Asia Tenggara, termasuk Indonesia, turut menambah risiko bencana yang bersifat kombinasi antara teknologi dan alam atau dikenal dengan istilah Natural and Technological Disasters (NATECH). Kompleksitas tantangan ini menuntut adanya strategi manajemen bencana terpadu yang mencakup penilaian risiko, perencanaan kesiapsiagaan, serta penguatan kapasitas lintas sektor, sebagaimana yang ditekankan dalam Sendai Framework for Disaster Risk Reduction 2015-2030. Pendekatan ini menekankan pentingnya kolaborasi multi-pihak untuk membangun ketahanan masyarakat dan industri terhadap bencana.
Menjawab tantangan tersebut, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan Seminar Online FKM UI Seri 26 pada 7 Desember 2024 dengan tema “Community and Industrial Resilience in Natural Disaster Mitigation: Challenges, Opportunities, and Solutions from Public Health Perspective.” Acara yang dilaksanakan secara daring melalui platform Zoom Meeting ini dihadiri oleh para narasumber yang ahli dibidangnya dan berhasil menarik lebih dari 400 peserta, yang terdiri dari akademisi, praktisi, dan masyarakat umum. Seminar ini menjadi wadah penting dalam berbagi pengalaman dan solusi berbasis ilmu pengetahuan untuk memperkuat kesiapsiagaan bencana.
Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU, membuka seminar dengan menekankan urgensi mitigasi bencana di tengah dampak perubahan iklim global yang semakin dirasakan. Dalam sambutannya, Prof. Heri menyampaikan apresiasi terhadap kontribusi narasumber dan panitia pelaksana. “Bencana alam dan perubahan iklim memengaruhi berbagai aspek kehidupan, sehingga persiapan lintas sektor melibatkan akademisi, pemerintah, dan masyarakat menjadi sangat penting. Kolaborasi ini adalah kunci untuk membangun ketahanan dan kesiapan kita dalam menghadapi risiko bencana,” ujarnya.
Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan FKM UI, Dr. Ir. Asih Setiarini, M.Sc., turut memberikan sambutan yang menyoroti relevansi tema seminar ini di tengah meningkatnya risiko bencana akibat perubahan iklim. Dr. Asih berharap agar seminar ini dapat menjadi ajang berbagi wawasan, pengalaman, dan inovasi dalam memperkuat kesiapsiagaan bencana dari perspektif kesehatan masyarakat. Selain itu, Dr. Asih menekankan pentingnya memerhatikan aspek kesehatan mental dan fisik individu dalam konteks mitigasi bencana, serta membuka peluang kolaborasi antar pemangku kepentingan untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan.
Indonesia menghadapi tantangan besar dalam mitigasi bencana alam, terutama dengan meningkatnya dampak krisis iklim yang diprediksi dapat menyebabkan tambahan 250.000 kematian antara tahun 2030 hingga 2050 akibat malnutrisi, malaria, diare, dan stres panas menurut WHO. Sementara itu, Febi Dwirahmadi dari Griffith University, Australia, menyampaikan masalah kesehatan yang sering muncul dalam bencana alam, seperti mortalitas, morbiditas, dan gangguan infrastruktur kesehatan. “Dalam bencana alam, ada banyak tantangan seperti penanganan penyakit menular, gangguan sanitasi, serta masalah mental dan nutrisi masyarakat,” ujar Febi. Oleh karena itu, penting untuk memiliki kemampuan sistem kesiapsiagaan kesehatan masyarakat dan sistem pelayanan kesehatan yang mencakup koordinasi operasi darurat, manajemen korban, distribusi material medis, serta pengelolaan informasi publik. Pendekatan ini menunjukkan bahwa kesehatan masyarakat adalah komponen penting dalam membangun ketahanan komunitas, di mana promosi kesehatan dapat menjadi strategi efektif untuk meningkatkan kesiapsiagaan dan respon terhadap bencana.
Dr. Raditya Jati, S.Si., M.Si., Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan BNPB, menyoroti bahwa perubahan iklim, alih fungsi lahan, dan kerusakan lingkungan semakin mempercepat peningkatan risiko bencana. Selain itu, urbanisasi, kemiskinan, eksplorasi lingkungan, serta tingginya populasi yang tinggal di daerah rawan bencana, memperparah tantangan tersebut. Dr. Raditya juga menyoroti kelemahan dalam tata kelola manajemen bencana, kurangnya kesadaran masyarakat, serta data risiko bencana yang masih terbatas yang menghambat pembuatan kebijakan dan pelaksanaannya. Dr. Raditya menekankan bahwa risiko bencana bersifat dinamis dan dapat meningkat atau menurun tergantung pada kemampuan kita mengurangi kerentanan. “Tidak ada satu pun wilayah di Indonesia yang sepenuhnya bebas dari risiko bencana,” ujar Dr. Raditya. Menurutnya, pola risiko bencana mencerminkan konstruksi sosial dari paparan dan kerentanan yang bervariasi di setiap negara. Dalam konteks ini, pendekatan holistik yang mencakup perencanaan tata guna lahan yang sensitif terhadap risiko bencana dan meningkatkan kapasitas masyarakat, menjadi sangat penting sebagai upaya untuk menciptakan ketahanan terhadap bencana di masa depan.
Di sisi lain, Dr. Sumarjaya, S.K.M., M.M., MFP., CFA., Kepala Pusat Krisis Kesehatan Kemenkes RI, menjelaskan bahwa manajemen krisis kesehatan dilakukan melalui sistem klaster yang melibatkan tingkat pusat dan daerah. Sistem ini bertujuan meningkatkan koordinasi, kapasitas kolaborasi, serta integrasi sistem dalam penanganan krisis. Klaster kesehatan terdiri dari kluster per wilayah, sub-kluster, serta tim yang bertugas untuk memenuhi kebutuhan layanan kesehatan dalam satu komando. Tahapan penanganan krisis meliputi fase pra-krisis, seperti penilaian risiko dan pengembangan rencana kontingensi; fase saat krisis, seperti deklarasi darurat dan aktivasi klaster kesehatan; serta fase pascakrisis, yang mencakup evaluasi dan pembangunan kembali layanan kesehatan yang lebih aman dan berkelanjutan.
Sementara itu, Arief Bagus Arjuna, S.T., M.T., dari PT Dover Chemical, Merak Plant, menyoroti kesiapan menghadapi bencana dari segi industri. “Perlu adanya peralatan darurat seperti sensor tingkat air laut, sistem alarm, alat pemadam kebakaran, serta prosedur evakuasi yang terintegrasi untuk menghadapi bencana dalam bidang industri,” ujar Arief. Strategi mitigasi risiko bencana industri mencakup perjanjian bantuan antarperusahaan, latihan darurat bersama antara perusahaan, komunitas, dan pemerintah, serta peta sumber daya antarperusahaan. Arief juga menekankan pentingnya kesadaran karyawan dan masyarakat, prosedur komunikasi antara perusahaan dan pemerintah, serta pengelolaan jalur evakuasi dan titik kumpul untuk memastikan respon bencana yang efektif.
Selain itu, menurut Prof. Dra. Fatma Lestari, M.Si., Ph.D., dari Disaster Risk Reduction Centre Universitas Indonesia, industri juga dihadapkan pada urgensi membangun ketahanan terhadap bencana untuk melindungi kehidupan manusia, aset, properti, dan reputasi. Prof. Fatma menjelaskan, “Ketahanan bencana juga membantu mengurangi kerugian dan dampak yang dialami oleh perusahaan, serta berkontribusi pada ketahanan bangsa secara keseluruhan.” Indonesia, sebagai negara di wilayah cincin api, rentan terhadap gempa bumi besar seperti megathrust yang berpotensi memicu tsunami besar. Tantangan utama yang dihadapi termasuk komunikasi risiko, sistem peringatan dini, populasi yang besar, dan keberagaman etnis. “Kelompok rentan seperti lansia, anak-anak, dan individu dengan penyakit kronis sering kali terkena dampak secara tidak proporsional,” tambah Prof. Fatma, sembari mencatat bahwa infrastruktur kesehatan yang terbatas, rumah sakit yang padat, dan kekurangan tenaga kesehatan juga memperburuk kondisi. Di sisi lain, Prof. Fatma menyoroti peluang untuk meningkatkan ketahanan melalui keterlibatan komunitas lokal dalam perencanaan dan respon bencana. “Teknologi dapat dimanfaatkan untuk sistem peringatan dini, pengawasan kesehatan, dan layanan kesehatan jarak jauh,” ungkap Prof. Fatma. Menurutnya, kolaborasi lintas sektor adalah kunci untuk menciptakan solusi yang berkelanjutan dalam menghadapi tantangan bencana. Melalui langkah-langkah ini, ketahanan masyarakat dan industri dapat ditingkatkan secara signifikan, memberikan perlindungan yang lebih baik terhadap risiko bencana di masa depan.
Prof. Ana Maria Cruz dari Kyoto University, Jepang, menambahkan bahwa pendekatan konvensional yang hanya fokus pada fasilitas atau infrastruktur perlu diperluas menjadi berbasis wilayah yang mencakup fasilitas, industri di sekitarnya, serta infrastruktur yang saling terhubung. Prof. Cruz juga menggarisbawahi pentingnya kesiapan untuk menghadapi situasi yang tidak terduga dan perubahan yang dinamis. Paradigma baru ini menuntut manajemen risiko yang komprehensif dengan lingkup yang melampaui fasilitas individu. Tindakan kolaboratif antara pemerintah daerah, perusahaan, dan masyarakat adalah kunci dalam mengurangi risiko natech – risiko yang muncul dari interaksi antara bencana alam dan kecelakaan industri – terutama pada infrastruktur seperti pipa transportasi yang melintasi wilayah luas dan batas-batas administratif. “Manajemen risiko natech membutuhkan pendekatan yang terintegrasi dan kerja sama lintas sektor untuk memastikan keselamatan bersama,” jelas Prof. Ana Maria Cruz. Pendekatan ini diyakini dapat meningkatkan ketahanan terhadap bencana gabungan alam dan teknologi yang semakin kompleks di masa mendatang. Pentingnya pendekatan manajemen risiko bencana yang inklusif untuk menangani berbagai jenis ancaman teknologi dan lingkungan juga ditekankan oleh Dr. Yasuhito Jibiki dari Tohoku University, Jepang.
Tema yang diangkat dalam seminar ini mencerminkan pentingnya pendekatan holistik dan kolaboratif dalam menghadapi risiko bencana. Tidak hanya menitikberatkan pada kesiapsiagaan individu dan komunitas, namun juga pentingnya ketahanan sektor industri dalam menghadapi ancaman bencana. Melalui forum ini, peserta diharapkan dapat menggali berbagai tantangan, peluang, dan solusi konkret yang berlandaskan bukti ilmiah serta dapat diaplikasikan secara praktis. Penyelenggaraan Seminar Online FKM UI Seri 26 ini, menunjukkan peran strategis FKM UI sebagai institusi pendidikan yang berkontribusi dalam upaya mitigasi bencana berbasis ilmu pengetahuan dan kolaborasi lintas sektor. Seminar ini diharapkan mampu memperkuat kesiapsiagaan Indonesia dalam menghadapi berbagai risiko bencana, baik yang bersifat alami maupun teknologi, serta mendorong pembangunan ketahanan nasional yang berkelanjutan. (DFD)