Di dunia yang semakin kompleks dengan tantangan kesehatan yang terus berkembang, bagaimana kita dapat menciptakan sistem kesehatan yang berkelanjutan? Public Health Colloquium (PHC) 2024 yang diadakan oleh Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) mencoba menjawab pertanyaan ini. Berlangsung pada 1-2 Oktober 2024, PHC mengusung tema “Sustainable Health(care)” dan menjadi wadah bagi para peneliti global berkumpul untuk membahas tantangan kesehatan berkelanjutan yang semakin mendesak dan berbagi hasil studi terbaru mereka. PHC menargetkan peneliti, dosen, dan mahasiswa dari berbagai negara, mendorong diskusi seputar kesehatan masyarakat, kedokteran, dan bidang terkait lainnya. Acara ini terdiri dari tiga kegiatan utama, meliputi presentasi lisan, lokakarya, dan seminar.
Public Health Colloquium (PHC) 2024 dibuka secara resmi oleh Dr. Ir. Asih Setiarini, M.Sc., Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan FKM UI. Melalui sambutannya, Dr. Asih menyampaikan pentingnya kolaborasi dalam riset kesehatan berkelanjutan, “PHC 2024 menjadi momentum penting untuk mempertemukan para peneliti dari berbagai bidang, membahas isu-isu kesehatan berkelanjutan yang relevan dengan kondisi global saat ini.” Selain itu, Dr. Al Asyary, S.K.M., M.P.H., Editor in Chief Jurnal Kesmas, turut memberikan sambutan. Dr. Al Asyary berharap agar para peserta mendapatkan pengalaman berharga dan berkontribusi terhadap pengembangan ilmu kesehatan masyarakat, dengan menyampaikan, “Kami berharap para peserta mendapatkan momen yang berkesan dan turut serta dalam pengembangan ilmu kesehatan masyarakat. Untuk masa depan Jurnal Kesmas, Colloquium ini diadakan untuk para peneliti, guna memfasilitasi dan menciptakan dampak positif bagi kesehatan masyarakat.” Acara ini dipandu oleh Fitri Kurniasari, Ph.D., Dosen Departemen Kesehatan Lingkungan FKM UI, yang bertindak sebagai moderator.
Prof. Coral Gartner dari The University of Queensland menyampaikan materi tentang kaitan antara pengendalian tembakau dan Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs), serta dampak lingkungan yang dihasilkan oleh industri tembakau. Ia menekankan pentingnya pengendalian tembakau sebagai bagian dari upaya mencapai SDGs, mengingat industri tembakau memberikan dampak signifikan terhadap lingkungan. “Mengintegrasikan pengendalian tembakau dengan tujuan keberlanjutan adalah langkah kritis, mengingat beban lingkungan yang sangat besar dari siklus hidup industri tembakau,” jelasnya. Prof. Gartner juga memperkenalkan konsep “endgame” dalam pengendalian tembakau, yaitu langkah-langkah strategis untuk menghentikan konsumsi tembakau di seluruh dunia. Ia memberikan gambaran umum tentang situasi global terkait rencana-rencana ini. Dalam presentasinya, Prof. Gartner menguraikan bahwa siklus hidup tembakau, dari proses penanaman hingga pengolahan, menghasilkan polusi yang signifikan. Proses budidaya dan pengeringan tembakau dapat menyebabkan deforestasi, penurunan kualitas tanah, hilangnya keanekaragaman hayati, serta penggunaan pestisida yang berbahaya bagi lingkungan. Selain itu, proses pengeringan daun tembakau (flue-curing) menghasilkan emisi CO2 dan polusi udara. “Siklus produksi tembakau menciptakan masalah lingkungan yang berkepanjangan, dan efeknya tidak hanya terbatas pada polusi udara tetapi juga merusak tanah, air, dan kesejahteraan pekerja di sektor pertanian,” tegas Prof. Gartner.
Lebih lanjut, konsumsi tembakau memberikan jejak lingkungan yang besar. Misalnya, seseorang yang merokok 20 batang rokok setiap hari selama 50 tahun akan menghasilkan emisi setara CO2. Hal ini membutuhkan 132 bibit pohon untuk ditanam dan tumbuh selama 10 tahun guna mengimbangi dampaknya. Penggunaan bahan bakar fosil juga signifikan, setara dengan konsumsi listrik rumah tangga rata-rata di India selama 15 tahun. “Angka-angka ini menunjukkan betapa mahalnya kebiasaan merokok bagi lingkungan, tidak hanya bagi kesehatan manusia,” tambahnya. Prof. Gartner menekankan pentingnya mengintegrasikan berbagai kebijakan ini sebagai bagian dari upaya global yang lebih besar untuk mengakhiri konsumsi tembakau. Ia juga mengutip beberapa contoh internasional, seperti larangan total tembakau di Bhutan, rencana aksi inovatif di Selandia Baru, serta kebijakan progresif di Malaysia dan Inggris, yang menunjukkan bahwa rencana “endgame” dapat dilakukan dengan keberhasilan.
Selaras dengan materi Prof. Gartner, dr. Siti Nadia Tarmizi, M.Epid, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, membahas tentang target kesehatan nasional yang menjadi fokus pemerintah dalam menanggulangi masalah kesehatan akibat konsumsi tembakau. Dokter Siti Nadia menjelaskan bahwa pemerintah Indonesia berkomitmen untuk mengurangi prevalensi merokok di kalangan masyarakat, terutama di kalangan remaja dan perempuan. “Kami menyadari bahwa pengendalian tembakau bukan hanya tugas Kementerian Kesehatan, tetapi memerlukan kolaborasi dari berbagai sektor, termasuk pendidikan, lingkungan, dan kebijakan publik,” ungkap dr. Siti Nadia. Selain itu, dr. Siti Nadia menyoroti perlunya pendekatan yang holistik dalam pengendalian tembakau, termasuk pendidikan kesehatan masyarakat tentang bahaya rokok, penguatan regulasi, serta promosi kebijakan bebas rokok di tempat-tempat umum. Strategi yang terintegrasi yang tepat diharapkan dapat mengurangi dampak buruk tembakau terhadap kesehatan masyarakat dan mencapai target-target yang telah ditetapkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN). “Pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mendukung upaya ini agar kesadaran akan bahaya tembakau dapat meningkat dan berdampak positif terhadap kesehatan masyarakat secara keseluruhan,” ujarnya.
Selanjutnya, Dr. Kylie Morphett, dari The University of Queensland, memberikan paparan mengenai dampak lingkungan dari limbah produk tembakau, termasuk isu yang muncul terkait limbah produk vape. Ia mengupas bagaimana limbah-limbah ini berdampak negatif terhadap lingkungan dan kesehatan masyarakat. Dr. Kylie menjelaskan bahwa limbah produk tembakau, termasuk puntung rokok dan vape, memiliki dampak negatif yang serius terhadap lingkungan. Limbah tersebut sering kali dibuang sembarangan, yang menyebabkan pencemaran tanah dan air. Puntung rokok, misalnya, mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat merusak tanaman dan mengganggu ekosistem, termasuk menyebabkan penurunan kualitas tanah serta merusak pertumbuhan tanaman. Dr. Kylie menekankan, “Limbah produk tembakau bukan hanya masalah kesehatan, tetapi juga masalah lingkungan yang mendesak. Kita perlu mendorong kesadaran tentang dampak dari limbah ini agar masyarakat dapat berkontribusi dalam menjaga lingkungan.” Hal ini selaras dengan pendapat Prof. Wahyu Sulistiadi, “Sebanyak 70% konsumen melaporkan membuang puntung rokok secara tidak benar, yang menyebabkan toksisitas pada tanaman dan hewan,” ungkapnya. Puntung rokok yang dibuang sembarangan dapat mengurangi perkecambahan biji rumput dan klover, merusak DNA cacing laut, dan terbukti beracun bagi ikan, baik dari puntung yang sudah dibakar maupun yang belum.
Tidak hanya itu, menurut Prof. Dr. drg. Wahyu Sulistiadi, M.A.R.S., Guru Besar FKM UI, berbagai tantangan dihadapi dalam menyelesaikan isu ini. Isu-isu tersebut adalah soal kebijakan ketahanan kesehatan, kelemahan dalam sistem kesehatan, ketidaksetaraan dalam akses layanan, serta peningkatan beban penyakit akibat perubahan iklim dan keterbatasan sumber daya tenaga kesehatan. “Ketahanan sistem kesehatan tidak hanya soal kapasitas layanan, tetapi juga tentang kemampuan adaptasi terhadap perubahan, baik dari sisi penyakit maupun tantangan iklim,” papa Prof. Wahyu. Prof. Wahyu juga menjelaskan mengenai Rencana Strategis Sistem Kesehatan Berbasis Masyarakat (RSSH), yang menekankan pentingnya perencanaan dan tata kelola sektor kesehatan untuk menciptakan layanan yang terintegrasi dan berpusat pada masyarakat. Sebagai upaya memperkuat dan mempertahankan pelaksanaan layanan kesehatan berbasis masyarakat/Integrated People-Centered Services (IPCS), Kementerian Kesehatan mendorong advokasi pengoptimalan anggaran pemerintah daerah (APBD) dan desa, serta alokasi dana untuk kader dan bahan medis habis pakai (BMHP). Selain itu, optimalisasi Dana Alokasi Khusus (DAK), termasuk bantuan operasional kesehatan (BOK) dan transfer dana lainnya, menjadi langkah penting dalam mendukung keberlanjutan layanan kesehatan di tingkat lokal.
Pada hari kedua acara, diadakan workshop bertajuk “Reducing Tobacco Litter Through Smoke-Free Environments: Australia and Indonesia” yang dipimpin oleh Mr. David Sellars, M.Sc., dari James Cook University. Workshop ini membahas upaya mengurangi limbah tembakau melalui penerapan lingkungan bebas asap rokok di Australia dan Indonesia. Panel diskusi menghadirkan Dr. Al Asyary, S.K.M., M.P.H., dan Meita Veruswati, S.K.M., M.K.M., Ph.D. (cand.), yang memberikan perspektif dari kedua negara terkait dampak lingkungan serta kebijakan yang dapat diambil untuk mengurangi limbah tembakau. Acara ini dilanjutkan dengan presentasi lisan dari beberapa peserta terkait topik yang relevan.
Melalui beragam program dan pembicara yang kompeten, PHC 2024 diharapkan dapat mendorong inovasi dalam penelitian kesehatan berkelanjutan dan memberikan kontribusi signifikan terhadap pengembangan kebijakan kesehatan di Indonesia dan di seluruh dunia. (DFD)