Departemen Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3) Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) kembali menggelar kuliah umum bertajuk Finding Zen in Chaos pada Sabtu, 2 Desember 2023 secara luring di Aula A FKM UI. Shabrina Audinia, M.Psi., Alumni Fakultas Psikologi Universitas Indonesia hadir sebagai pembicara disertai Dr. Dadan Erwandi, S.Psi., M.Si., Dosen K3 FKM UI sebagai moderator di dalam kuliah umum yang diikuti oleh para mahasiswa terutama Prodi S1 dan S2 K3 FKM UI kali ini.
Finding Zen In Chaos atau kemampuan dalam pengelolaan stres menjadi jawaban atas permasalahan dan urgensi mahasiswa-mahasiswi saat ini terhadap kondisi kesehatan mentalnya. Sehat mental adalah kondisi kesejahteraan yang membuat individu mampu mengatasi stres kehidupan, menyadari kemampuannya, belajar dan bekerja dengan normal, serta berkontribusi pada lingkungannya.
“Banyak dari mahasiswa saat ini yang rentan terhadap kesehatan mental hingga dilaporkan tragis dalam menyelesaikan permasalahannya. Berbagai faktor dapat terjadi sebagai pemantik masalah. Sehingga, pendewasaan mental menjadi hal yang harus dikembangkan dan diterapkan oleh setiap mahasiswa untuk menghadapinya”, tutur Dr. Dadan Erwandi, S.Psi., M.Si., dalam sambutannya.
Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesai (UI) melakukan sebuah riset dan data yang memperlihatkan lebih dari 60% mahasiswa mengalami setidaknya satu gangguan kesehatan mental. Berdasarkan data kajian BEM Psikologi 2020, sebanyak 48% mahasiswa mengalami gangguan kecemasan, 55% memiliki gejala depresi, dan 64% memiliki kualitas tidur yang buruk.
Permasalahan utama yang terlihat pada mahasiswa UI hingga kini terangkum pada 4 pilar, yakni permasalahan pada intrapersonal, akademik, lingkungan, dan interpersonal. Hal tersebut memberikan dampak terhadap konsentrasi, pemaknaan, energi, dan kemandirian pada mahasiswa sehingga menimbulkan adanya performa akademik dan hubungan sosial yang buruk serta pandangan yang kurang baik terhadap diri sendiri dan orang lain.
Segitiga kognitif menyebutkan adanya pikiran, perasaan, dan perilaku. Ketiganya disebut sebagai pemberi alasan mengapa seseorang memiliki permasalahan mental karena berkaitan dengan satu sama lain. Pikiran menjadi penentu dari perasaan dan perilaku seseorang sehingga cara pandang sangat berpengaruh terhadap kondisi yang akan terjadi.
Stres merupakan bentuk penyesuaian diri yang wajar untuk dirasakan. Hal ini dibuktikan dalam Stress Performance Curve yang memperlihatkan performa optimal yang dimiliki seseorang adalah ketika ia berada di puncak stresnya. Namun, perlu diingat bahwasannya stres yang dialami tidak dapat dibiarkan secara terus-menerus, harus dilakukan penekanan dan pemberhentian agar tidak timbul permasalahan lanjut.
“Pengelolaan stres dapat dilakukan melalui lingkaran kendali yang dimiliki. Berfokus pada diri sendiri dan permasalahan saat ini merupakan kunci terbebasnya seseorang pada stres yang mungkin saja terjadi. Cara tersebut dapat diartikan ke dalam mindfulness, yakni membiarkan diri sendiri untuk fokus seutuhnya pada momentum ini dan kini ketika menghadapi masalah yang sedang terjadi,” terang Shabrina.
Acceptance and Commitment Therapy menjadi teknik terapi yang diberikan oleh Shabrina di penghujung materinya. Ia mengajak audience untuk dapat melihat dirinya sebagai konteks, yaitu mencoba untuk memisahkan diri dari dirinya sendiri untuk sementara menjadi orang lain agar dapat melihat utuh keadaan dirinya saat ini serta dari kejadian yang telah terjadi.
“Hari yang buruk bukan berarti hidup yang buruk. Ketika kita mengalami kegagalan, belum tentu kita gagal sepenuhnya. Stres adalah suatu hal yang netral. Jadi, tidak apa untuk tidak merasa baik-baik saja, namun tidak baik untuk tetap bertahan di dalamnya”, tutup Shabrina dalam penyampaian materinya. (ITM)