Narsis merupakan fenomena umum yang sudah lama sekali kita kenal. Kita biasa mengidentikkan hal tersebut dengan seseorang yang terlalu percaya diri dan hobi memamerkan dirinya. Walaupun terdengar sepele, ternyata pada taraf tertentu hal ini dapat dikategorikan sebagai gangguan kesehatan mental. Melalui webinar dalam rangka rangkaian Dies Natalis FKM UI ke-58 yang diadakan pada Sabtu, 24 Juni 2023, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) mengupas tuntas mengenai gangguan kepribadian narsisistik ini.
Saat ini, gangguan mental merupakan salah satu masalah kesehatan masyarakat terbesar. Survei yang dilakukan oleh Indonesia – National Adolescent Mental Health (I-NAMHS) menunjukkan bahwa 1 (satu) dari 3 (tiga) remaja di Indonesia mengalami gangguan mental. Narsisistik sendiri merupakan gangguan kepribadian Cluster B bersamaan dengan borderline, antisosial dan histrionik. Orang yang memiliki gangguan ini memiliki ciri adanya perasaan kebesaran, membutuhkan pujian/pemujaan, dan kurang empati. Orang dengan gangguan kepribadian seringkali memberikan penderitaan bagi orang lain maupun dirinya sendiri, mengganggu relasi, dan menurunkan produktivitas.
Kepribadian narsisistik sendiri bisa merupakan sesuatu hal yang positif apabila hanya sebatas kepribadian. Individu dengan pribadi ini memiliki sifat-sifat positif yang mendorong pada kepercayaan diri, kemandirian, serta ambisi tinggi yang positif. Perilaku narsisme akan berubah tidak wajar dan menjadi gangguan kepribadian atau gangguan perilaku apabila terbawa hingga dewasa. Hal ini dapat disebabkan oleh hal genetik, adanya pengabaian, perlakukan kasar, peristiwa traumatik, dan pola asuh yang tidak baik. Bagaimanapun, gangguan ini hanya dapat didiagnosis oleh professional kesehatan dengan standar tertentu.
Apabila kita menemukan orang dengan gangguan ini, terdapat beberapa hal yang dapat kita lakukan, yaitu validasi, ventilasi, regulasi, dan konsultasi. Kita juga harus bisa mengatur diri ketika menghadapi orang dengan Gangguan Kepribadian Narsisistik. “Lakukan teknik observe but don’t absorb. Hanya deskripsikan saja apa yang dia bicarakan, tanpa harus memasukkanya ke dalam diri atau kehidupan kita,” ujar Psikiater RS Jiwa Dr. H. Marzoeki Mahdi Bogor, dr. Lahargo Kembaren, Sp.KJ. Kita dapat mengajak dan menuntun teman kita untuk berkonsultasi dan mendapatkan pengobatan profesional jika itu yang mereka butuhkan.
Bagi diri kita sendiri, kita harus belajar untuk mengenali perasaan kita sendiri dan menanamkan pada diri bahwa semua emosi yang kita rasakan adalah valid. Proses ini memang merupakan sesuatu hal yang butuh waktu, menyakitkan, dan mungkin tidak nyaman. “Ada beberapa tips yang dapat dilakukan untuk self-healing atau mengenali diri sendiri, yaitu menjawab dengan jujur perasaan diri, mengenali dan menerima setiap emosi, berlatih melakukan teknik stabilisasi emosi, meluangkan waktu untuk diri sendiri, serta menghindari pikiran penyesalan,” papar Konsultan Behavyours, Chitra Ananda Mulia, M.Psi.
Secara keseluruhan, dapat kita simpulkan bahwa narsisme tidak secara intrinsik berbahaya. Namun, kita perlu mewaspadai adanya gangguan kepribadian narsisistik apabila menemui tanda-tandanya. (BK)