Mengapa Indonesia Harus Siap Menghadapi Gempa Besar Subduksi?Peran Kunci SHA dalam Mitigasi Bencana

Pada tahun 2023, Indonesia tercatat sebagai negara dengan risiko bencana tertinggi kedua di dunia, menurut laporan World Risk Report, dengan skor World Risk Index (WRI) mencapai 43,50. Dua negara tetangga, Filipina dan India, turut masuk dalam tiga besar dengan WRI masing-masing 46,86 dan 41,52. Indeks ini mengukur bahaya, tingkat paparan, dan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana. Posisi Indonesia yang berada di “Ring of Fire” atau Lingkaran Api Pasifik menjadikannya rawan bencana. Wilayah ini adalah zona dengan aktivitas seismik yang tinggi akibat pertemuan tiga lempeng tektonik besar, yaitu Indo-Australia, Eurasia, dan Pasifik. Dampaknya, Indonesia memiliki sekitar 127 gunung berapi, dengan 75 di antaranya masih aktif. Aktivitas tektonik ini berkontribusi pada seringnya Indonesia dilanda gempa bumi, letusan gunung berapi, dan tsunami.

Baru-baru ini, gempa bumi tercatat terjadi berturut-turut pada 18, 19, dan 20 November 2024 di beberapa wilayah, dengan magnitudo antara 4,7 hingga 5.0. Total gempa berkekuatan di atas lima magnitudo yang terjadi sejak Oktober 2024 hingga 18 November 2024 tercatat sebanyak 30 gempa di berbagai daerah. BMKG juga kembali mengingatkan masyarakat Indonesia mengenai potensi gempa di zona Megathrust Selat Sunda dan Mentawai-Siberut yang “tinggal menunggu waktu”. Hal tidak pasti tersebut tentunya membuat kita sebagai masyarakat Indonesia khawatir, terutama bagi mereka yang tinggal di Kawasan rawan bencana.

Dalam Seminar Online FKM UI Seri 25 yang diselenggarakan pada Sabtu, 16 November 2024 mengenai kesiapsiagaan sistem kesehatan nasional terhadap ancaman bencana alam, Prof. Dr. Irwan Meilano, ahli geologi gempa sekaligus Dekan Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian ITB, mendorong pentingnya penerapan metode Seismic Hazard Analysis (SHA). SHA adalah suatu metodologi ilmiah yang digunakan untuk memprediksi probabilitas dan tingkat keparahan guncangan tanah akibat gempa di lokasi tertentu dalam periode waktu tertentu. Metode ini menghasilkan data berupa akselerasi atau percepatan gerakan tanah selama gempa, yang dapat memengaruhi kekuatan struktur bangunan. Prof. Irwan Meilano juga menyampaikan jika SHA merupakan hal yang sangat penting dan multidisipliner, memungkinkan kontribusi dari berbagai pakar serta menjadi kebutuhan nasional dan prioritas dimana semua pihak perlu memahami dan menerapkannya.

Prof. Irwan Meilano juga menjelaskan bahwa kerusakan dan korban jiwa yang disebabkan oleh gempa bumi berkaitan dengan interaksi antara massa bangunan dan percepatan (akselerasi) yang terjadi akibat gempa. Ketika percepatan ini bertemu dengan massa bangunan, gaya yang dihasilkan dapat merusak struktur. Jika kekuatan bangunan tidak cukup untuk menahan gaya tersebut, maka bangunan akan runtuh. Oleh karena itu, dengan menghitung akselerasi sebelum gempa terjadi, bangunan dapat dirancang lebih kuat untuk menahan gaya tersebut, sehingga akan mengurangi risiko keruntuhan dan menyelamatkan nyawa.

Hal tersebut dibahas berangkat dari keprihatinannya melihat dampak gempa yang terjadi di Indonesia dan negara lain yang berbeda meskipun dengan besaran magnitudo yang sama. Hal tersebut dikarenakan negara lain berusaha membangun bangunan yang lebih kuat.

“Seolah-olah tidak fair ya ditempat lain gempa dengan skala 6 saja masih oke, sedangkan di kita 5 saja sudah collapse. Kenapa? Karena mereka berusaha membangun bangunan lebih kuat dari acceleration yang mungkin muncul di masa depan,” tutur Prof. Irwan.

Penghitungan akselerasi didapatkan melalui metode SHA. Indonesia telah memiliki peta SHA sejak 1983 yang terus diperbarui, dengan pembaruan terakhir pada 2017 dan kini sedang dalam proses pembaruan kembali. Melalui peta SHA, dapat dihitung potensi kerusakan dan kerugian akibat bencana dengan memeriksa kerentanan fisik setiap bangunan, sehingga langkah mitigasi yang tepat dapat diterapkan.

Dalam seminar ini, Prof. Irwan juga menyampaikan tiga upaya mitigasi diantaranya : 1) Mitigasi bukan satu resep yang bisa diterapkan untuk seluruh wilayah, perlu disesuaikan dengan situasi dan kondisi spesifik seperti misalnya di perusahaan didorong untuk membuat BCP (Business Continuity Plan) for disaster, 2) Penguatan infrastruktur fisik, desain dan konstruksi bangunan tahan gempa, penguatan struktur, sistem peringatan dini gempa bumi, dan 3) keterlibatan komunitas dalam pengurangan risiko bencana (membentuk emergency response teams). (MHS-PUJI)