Indonesia, negeri yang indah namun juga menjadi negara kedua dengan risiko bencana tertinggi di dunia, dari gempa bumi, tsunami, hingga banjir, ancaman bencana selalu menghantui masyarakat yang tibanya tidak bisa kita prediksi. Berdasarkan data, Indonesia mengalami kerugian ekonomi akibat bencana yang mencapai Rp22,8 triliun setiap tahun, sementara alokasi anggaran untuk penanggulangan bencana hanya sekitar Rp3,1 triliun per tahun. Kondisi ini menciptakan kesenjangan kebutuhan yang signifikan, di mana sistem kesehatan belum sepenuhnya memenuhi kebutuhan darurat saat bencana terjadi (CSIS, 2022). Tingginya tingkat keparahan isu ini tercermin dari banyaknya angka kematian, cedera dan kerusakan materil yang seharusnya dapat dicegah dengan kesiapan yang lebih baik. Hal ini menjadi isu yang mendesak, mengingat dampak bencana tidak hanya memengaruhi sektor kesehatan tetapi juga keberlanjutan sosial-ekonomi masyarakat terutama di daerah rawan bencana. Menghadapi tantangan besar ini, kebijakan ketahanan kebencanaan serta kesehatan yang kuat menjadi sangat penting.
Sebelumnya penanggulangan kebencanaan tertuang dalam Undang-Undang No. 24 Tahun 2007, namun saat ini sudah tidak berlaku dengan hadirnya UU No. 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan mencakup pasal terkait kesehatan bencana dan Rencana Aksi Nasional Pengurangan Risiko Bencana. Namun, efektivitas implementasi kebijakan tersebut masih perlu dikaji, terutama dalam hal kesiapan daerah mengingat pemerintah daerah berperan krusial sebagaimana dalam pasal 109 UU Kesehatan 2023 untuk merespons bencana yang meningkat baik dari segi frekuensi maupun intensitasnya.
Meskipun upaya-upaya untuk meningkatkan kesiapsiagaan bencana telah dilakukan, kebijakan yang ada saat ini masih menghadapi berbagai tantangan, diantaranya integrasi antara sektor kesehatan, sosial, dan infrastruktur dalam pengelolaan risiko bencana. Disisi lain, kesadaran masyarakat akan pentingnya kesiapsiagaan masih minim. Sebagai contoh dalam hasil penelitiannya pada tahun 2024 didapati jika kesiapan Kota Bandung dalam menghadapi bencana masih dalam kategori “sangat kurang” (Khaerunnisa, 2024). Penelitian lainnya di Semarang menunjukkan sebanyak 63,6% masyarakat memiliki pengetahuan kesiapsiagaan “kurang” (Hildayanto, 2020).
Sebagai salah satu upaya strategis, revisi ataupun pembaruan regulasi pelaksana kesehatan bencana berikutnya diperlukan untuk mengatasi berbagai kesenjangan yang ada dengan fokus pada peningkatan kapasitas daerah dan integrasi lintas sektor. Pendekatan berbasis whole-of-government dan whole-of-society dapat diadopsi dalam menghadapi ancaman bencana yang semakin kompleks dan tidak dapat kita hindari namun dapat kita reduksi dampaknya. Mengintegrasikan kedua pendekatan ini akan memberikan manfaat signifikan bagi ketahanan bencana di Indonesia. Dengan melibatkan semua pihak—baik pemerintah maupun masyarakat dalam proses perencanaan dan implementasi kebijakan, kita dapat menciptakan ekosistem yang lebih responsif terhadap ancaman bencana. Hal ini juga akan memperkuat infrastruktur sosial dan meningkatkan kapasitas lokal untuk menghadapi krisis. Selain itu, dengan adanya komunikasi yang baik antara pemerintah dan masyarakat, informasi terkait risiko dan langkah-langkah mitigasi dapat disebarluaskan dengan lebih efektif. Sehingga Indonesia dapat membangun sistem kesehatan yang lebih tangguh, tidak hanya untuk merespons bencana dengan cepat tetapi juga untuk memitigasi dampaknya secara berkelanjutan di masa depan.
Kesiapsiagaan bencana nasional dalam sektor kesehatan perlu menjadi prioritas utama dalam kebijakan pemerintah khususnya ketahanan karena berkaitan erat dengan pembangunan nasional. Upaya untuk memperkuat kapasitas sistem kesehatan daerah rawan bencana, bersama dengan kebijakan yang lebih berbasis pada pencegahan dan pengurangan risiko, akan mengurangi dampak bencana terhadap kesehatan masyarakat. Mengingat meningkatnya frekuensi dan intensitas bencana, kebijakan kesehatan yang lebih responsif, terintegrasi, dan berbasis data akan memastikan bahwa Indonesia siap menghadapi tantangan besar di masa depan. (Artikel Opini dari Mahasiswa FKM UI – Puji)