Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) kembali menyelenggarakan seminar online seri 18 dalam merespon perkembangan pandemi COVID-19. Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia kali ini bekerja sama dengan Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Airlangga (FKM UNAIR). Webinar seri ke-18 ini dilaksanakan pada Senin, 6 Juli 2020 melalui aplikasi video telekonferensi. FKM UI dan FKM UNAIR menghadirkan narasumber ahli yaitu dr. Iwan Ariawan, MSPH, Dosen Departemen Biostatistik dan Kependudukan FKM UI dan Dr. dr. Windhu Purnomo, MS dari FKM UNAIR. Webinar kali ini dimoderatori oleh R. Sutiawan, S. Kom., M.Si.
Masih dalam rangka perayaan Dies Natalis ke-55 FKM UI, seminar online kali ini dibuka dengan sambutan dari Dr. dr. Sabarinah Prasetyo, M. Sc, Pj. Dekan FKM UI. Pada sambutannya, Doktor Sabarinah menyampaikan bahwa dalam perayaan Dies Natalis kali ini, FKM UI akan terus berkontribusi maksimal dalam menghadapi pandemi COVID-19. Begitu pun dengan Prof. Dr. dr. Tri Martiana, MS, Dekan FKM UNAIR yang mengamini dengan ikut berkolaborasi dalam pelaksanaan seminar online kali ini.
Sesi pemaparan materi pertama disampaikan oleh dr. Iwan Ariawan, MSPH. Doktor Iwan menyampaikan materi mengenai pengembangan wabah COVID-19 di Indonesia dan DKI Jakarta lewat kajian epidemiologi yang dikembangkannya dengan para ahli.
Dalam penelitiannya, Doktor Iwan mengungkapkan bahwa gelombang pertama pandemi COVID-19 di Indonesia belum berakhir. Hal ini bisa dilihat dari kurva epidemi yang ada. Masalah kurva epidemi di Indonesia meliputi beberapa aspek. Secara pengertian, kurva epidemi adalah kurva yang menggambarkan jumlah kasus baru penyakit berdasarkan onset. Jeda antara tes dan hasil yang panjang dan bervariasi dapat mengakibatkan data dari kurva epidemi menjadi kompleks dan tak selalu akurat dalam menunjukkan kondisi sebenarnya. Dalam menggambarkan ukuran terkendalinya epidemi, Doktor Iwan menggunakan angka reproduksi efektif atau Rt. Secara definisi reproduksi efektif atau Rt dapat diartikan sebagai jumlah rata-rata orang yang ditularkan oleh satu kasus dalam masa infeksiusnya.
Lebih lanjut, Doktor Iwan menggambarkan bahwa semenjak PSBB transisi diberlakukan, proporsi penduduk yang tinggal di rumah semakin kecil, hal ini bisa dilihat dari data DKI Jakarta. Tentunya, hal tersebut menyebabkan risiko penduduk semakin tinggi tertular COVID-19. Kondisi ini memperlihatkan bahwa kondisi masih belum bisa dikatakan bebas dari pandemi COVID-19.
“Terkait kondisi yang ada, apabila pandemi COVID-19 ini ingin segera membaik atau ingin kemana kita, tergantung dari DKI Jakarta ataupun seluruh masyarakat Indonesia, tergantung kita yang menentukannya”, ujar Doktor Iwan.
Hal serupa terjadi di Jawa Timur. Doktor Windhu dari FKM UNAIR menyampaikan bahwa Jawa Timur memiliki potensi peningkatan jumlah kasus positif COVID-19 dengan Ibu Kota Provinsinya, yaitu Surabaya yang memiliki risiko tertinggi untuk terinfeksi bahkan untuk kota di Indonesia. Kesimpulannya, wabah COVID-19 di Jawa Timur masih belum terkendali sehingga belum aman untuk memasuki tatanan kehidupan normal baru.
Namun ke depannya, ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk implementasi penanganan pandemi COVID-19, diantaranya pelonggaran fase tatanan normal baru dengan pendekatan epidemiologi, pengawasan pemerintah daerah yang lebih tegas, testing yang lebih masif, peningkatan kapasitas fasilitas pelayanan keseahtan, dan komunikasi publik pemerintah daerah dengan warga yang harus dilakukan secara efektif dan tepat sasaran. (MFH)