Tahun 2045 disebut sebagai momentum yang sangat penting karena menandakan 100 tahun merdekanya bangsa Indonesia. Pada tahun tersebut diharapkan Indonesia akan memiliki generasi emas yang dapat memajukan bangsa. Namun, Indonesia masih memiliki beberapa masalah yang mengancam generasi penerus bangsa, seperti ancaman dari tuberkulosis (TBC). Di tahun 2022 ini, Indonesia menempati peringkat kedua untuk negara dengan kasus TBC terbanyak. Hal ini tentunya mengkhawatirkan mengingat TBC juga banyak menyerang kelompok anak-anak. Oleh karena itu, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan Seminar Online FKM UI Seri 19 dengan tema “Menuju Indonesia Emas 2045: Mewujudkan Generasi Unggul Bebas Tuberkulosis”. Seminar ini diselenggarakan secara daring pada Sabtu, 26 November 2022.
Saat ini, tren penemuan kasus TBC di Indonesia mulai meningkat. Kasus-kasus ini banyak ditemukan pada kelompok usia produktif (15—54 tahun) dan kelompok anak-anak berusia 5—14 tahun. Tingginya angka kasus TBC ini tentunya menjadi tantangan bagi Indonesia dalam mencapai tujuan eliminasi TBC di Indonesia pada tahun 2030 kelak. Untuk itu, diperlukan program konkret dari pemerintah untuk mewujudkan tujuan eliminasi TBC. Dokter Imran Pambudi, M.P.H.M., Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular (P2PM) Kementerian Kesehatan Republik Indonesia menjelaskan mengenai program-program eliminasi TBC yang dilakukan oleh pemerintah. ”Program percepatan eliminasi TBC antara lain penemuan kasus aktif dan pasif, peningkatan akses layanan, perluasan terapi pencegahan, serta penguatan surveilans. Ini semua harus bisa memenuhi 3 indikator peta jalan TBC, yaitu treatment coverage, success rate, dan terapi pencegahan TBC,” terang Dokter Imran.
Selaras dengan penjelasan dr. Imran, Dr. dr. RR. Diah Handayani, Sp.P (K), Tim Ahli Klinis Rumah Sakit UI juga menjelaskan pentingnya penemuan kasus aktif untuk memutus mata rantai penularan TBC. ”TBC adalah penyakit menular yang harus diobati dengan cepat agar bakteri penyebab penyakitnya mati dan tidak menimbulkan resistensi,” tutur Dr. Diah. Penemuan kasus aktif dapat mempermudah pemberhentian rantai penularan TBC. Diperlukan peningkatan dalam hal penguatan sistem, teknik, pengetahuan, dan kesadaran untuk bisa melakukan penemuan kasus aktif.
Seminar online ini juga menghadirkan dr. Dimas Dwi Saputro, Sp.A., yang juga Tim Ahli Klinis Rumah Sakit Anak dan Bunda Harapan Kita. Melalui paparannya, Dokter Dimas berfokus pada penanganan infeksi laten TBC pada anak. TBC laten sendiri adalah infeksi bakteri TBC, namun tidak disertai dengan bukti klinis penderita TBC aktif. Dalam menangani infeksi TBC laten pada anak, diperlukan kolaborasi dengan dokter praktik mandiri, rumah sakit swasta, dan pihak lain untuk bisa meningkatkan awareness mengenai isu TBC ini. Selain itu juga diperlukan akselerasi program tracing contact yang bertujuan untuk memutus transmisi lokal TBC. ”Jika seseorang mengidap TBC kemudian tidak ditangani dengan baik, akan sulit untuk mencapai visi Indonesia Emas 2045,” ujar Dokter Dimas.
Seminar online ini berhasil menarik antusiasme masyarakat luas. Antusiasme terlihat dari banyaknya partisipan dan sesi tanya-jawab yang interaktif antara peserta dengan pembicara. ”Melalui seminar online ini, masyarakat diharapkan dapat paham lebih banyak tentang TBC dan bersedia untuk berkontribusi aktif dalam penanggulangannya ” tutur Dr. Ir. Asih Setiarini, M.Sc., Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan FKM UI. (WR)