Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) menghadirkan dosen tamu, Ken Ong, Ph.D., MHS., Mississippi Delta Scholars in Public Health Teaching Fellow sekaligus Postdoctoral Research Fellow di Department of Epidemiology, Harvard T.H. Chan School of Public Health pada Seminar Online FKM UI Seri 30. Topik “Neglected Tropical Diseases and Malaria: Case Studies from Lao People’s Democratic Republic” menjadi bahan diskusi pada seminar yang dipandu oleh moderator Rizka Maulida, S.K.M., M.HSc., Ph.D., Sekretaris Program Studi S2 Ilmu Kesehatan Masyarakat FKM UI. Seminar yang dilaksanakan pada 11 Desember 2024 ini sukses diselenggarakan secara hybrid di Ruang Promosi Doktor Gedung G FKM UI serta melalui platform Zoom Meeting.
Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian, dan Kemahasiswaan FKM UI, Dr. Ir. Asih Setiarini, M.Sc., menyampaikan harapan atas terselenggaranya Seminar Online Seri 30 melalui sambutannya. “Diselenggarakannya seminar ini diharapkan dapat memberikan wawasan baru kepada mahasiswa FKM UI terkait penyakit tropis yang terabaikan dan malaria, khususnya melalui studi kasus dari Republik Demokratik Rakyat Laos,” tutur Dr. Asih. “Pembahasan ini menjadi sangat relevan dalam upaya memperkuat strategi pencegahan dan pengendalian penyakit tersebut, baik di tingkat lokal maupun global,” lanjutnya.
Melalui kesempatan ini, Ken Ong, Ph.D., MHS., memaparkan secara mendalam tentang penyakit tropis terabaikan (Neglected Tropical Diseases/NTDs) dan malaria. “NTDs adalah kelompok dari 21 penyakit yang sebenarnya dapat dicegah dan diobati, tetapi lebih banyak menyerang masyarakat berpenghasilan rendah,” jelas Ken. Diperkirakan 1,62 miliar orang di seluruh dunia terdampak setidaknya oleh satu NTD, seperti demam berdarah dengue, lepra, filariasis limfatik, dan infeksi trematoda melalui makanan.
NTDs merupakan sekelompok penyakit yang disebabkan oleh berbagai patogen, seperti virus, bakteri, protozoa, dan cacing parasit. Penyakit-penyakit ini umumnya ditemukan di daerah tropis dan subtropis. NTDs tidak hanya menyebabkan dampak fisik berupa kecacatan permanen, tetapi juga menurunkan produktivitas dan memperkuat lingkaran kemiskinan. Di Indonesia, upaya mengatasi NTDs telah mengalami kemajuan, sejalan dengan target Sustainable Development Goals (SDGs) World Health Organization (WHO). “Target indikator SDG 3.3.5 adalah pengurangan 90% jumlah orang yang membutuhkan intervensi NTD dari angka baseline 2010. Saat itu, Indonesia mencatat angka 157,19 juta jiwa yang membutuhkan intervensi,” tambah Ken.
Sementara itu di Laos, penyakit trematoda makanan seperti Opisthorchis, Clonorchis, Fasciola, dan Parogonimus menjadi salah satu sorotan. Infeksi berkepanjangan dapat menyebabkan penyakit hati dan paru-paru yang parah, dengan prevalensi infeksi cacing hati mencapai 80% di desa endemik di Laos. “Meskipun data prevalensi global masih minim, kemoterapi preventif menggunakan praziquantel atau triclabendazole dapat menjadi solusi,” jelas Ken. Negara Thailand telah berhasil menurunkan prevalensi ini, ditekan dari 60% menjadi kurang dari 10%, melalui pendekatan One Health/Eco Health dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, pendidikan kesehatan, serta pengobatan sejak tahun 2007. Menurut Ken, kesuksesan ini menunjukkan pentingnya pemikiran sistem, keterampilan epidemiologi lapangan, dan keterlibatan komunitas dalam menangani penyakit tropis akibat kemiskinan. Ken menekankan bahwa pendekatan berbasis data saja tidak cukup karena angka statistik tidak selalu menggambarkan keseluruhan cerita. Keterlibatan komunitas dan kolaborasi antar pihak adalah kunci utama.
Dalam upaya global, eliminasi malaria telah menjadi tujuan utama, dengan target eradikasi penuh pada tahun 2050. Di subkawasan Mekong Raya, eliminasi telah diidentifikasi sebagai satu-satunya respon yang dapat diterima untuk menangani ancaman malaria plasmodium falciparum yang resisten terhadap obat. Eliminasi malaria di Mekong Raya pada 2030 membutuhkan pendekatan yang terpadu, termasuk penggunaan primaquine dengan skrining G6PD sebelumnya. Ken Ong menjelaskan bahwa malaria vivax dan enzim glucose-6-phosphate dehydrogenase (G6PD), memiliki hubungan kompleks dengan pengobatan malaria.
Sebagai penutup, Ken menekankan pentingnya mengintegrasikan data kuantitatif dan kualitatif dalam memahami masalah kesehatan masyarakat. “Belajar mengumpulkan, mengintegrasikan, dan menginterpretasikan kedua jenis data dapat membantu memahami masalah kesehatan masyarakat dengan lebih baik. Namun, penelitian tidak cukup; hasil penelitian harus didiseminasikan untuk menciptakan dampak yang nyata,” pungkasnya. Selain itu, ia menyoroti bahwa kebijakan yang kuat memerlukan implementasi yang efektif untuk mencapai keberhasilan. Seminar ini menjadi momentum untuk mendalami strategi eliminasi malaria, terutama di wilayah dengan tantangan endemik yang kompleks. (DFD)