Pada Sabtu, 14 Desember 2024, Program Studi Pascasarjana FKM UI Peminatan Gizi Kesehatan Masyarakat sukses menyelenggarakan Seminar Online FKM UI Seri ke-28 dengan tema “Isu Megathrust: Mitigasi, Kesiapsiagaan, dan Respon Gizi”. Kegiatan ini bertujuan untuk meningkatkan pemahaman dan kesiapsiagaan masyarakat mengenai pentingnya peran gizi dalam situasi bencana. Seminar ini terbuka untuk mahasiswa, praktisi, serta masyarakat umum.
Seminar ini menekankan urgensi mitigasi dan kesiapsiagaan menghadapi potensi bencana megathrust, sebuah fenomena gempa bumi besar yang berpotensi memicu tsunami serta kerusakan fisik dan sosial yang meluas. Dalam sambutannya, Dr. Laila Fitria, S.K.M., M.K.M., Manajer Pendidikan FKM UI, menegaskan relevansi tema yang diangkat. “Indonesia, sebagai negara yang terletak di kawasan Cincin Api Pasifik, memiliki aktivitas seismik dan vulkanik yang tinggi. Ancaman bencana besar seperti megathrust ini nyata adanya dan berdampak signifikan, tidak hanya pada infrastruktur tetapi juga terhadap kesehatan masyarakat, terutama kelompok rentan seperti anak-anak, ibu hamil, dan lansia,” ujar Dr. Laila.
Dr. Laila juga menegaskan bahwa seminar ini merupakan bagian dari rangkaian diskusi strategis yang bertujuan membangun respon gizi yang cepat, tepat, dan inklusif. Mengangkat perspektif gizi dalam situasi bencana, seminar ini membuka peluang kolaborasi multipihak guna memperkuat sistem tanggap darurat gizi yang berkelanjutan. Selain itu, pengalaman yang dibagikan diharapkan dapat menginspirasi langkah-langkah mitigasi yang lebih efektif.
“Pada kesempatan ini, kita akan menggali lebih dalam dan berdiskusi terkait kesiapsiagaan serta respon terhadap isu megathrust dari aspek gizi. Ancaman gempa bumi dan tsunami di zona lempeng selatan Jawa merupakan pengingat bagi kita semua untuk terus meningkatkan upaya mitigasi dan kesiapsiagaan, khususnya di bidang kesehatan masyarakat,” ujar dr. Fathimah Sulistyowati Sigit, M.Res., Ph.D., Kepala Departemen Gizi FKM UI, dalam sambutannya. Dr. Fathimah menambahkan bahwa dalam bidang gizi terdapat konsep gizi darurat, sebuah pendekatan strategis yang dirancang untuk meminimalkan risiko kekurangan gizi dan penyakit menular di wilayah terdampak bencana. “Pada situasi kritis dan bencana, kita kerap dihadapkan pada ancaman serius, seperti kekurangan gizi dan gangguan kesehatan pencernaan. Oleh karena itu, penting memastikan kualitas dan kuantitas asupan gizi individu terdampak agar dampak yang lebih besar dapat dicegah,” tegasnya. Melalui seminar ini, dr. Fathimah berharap seluruh peserta dapat memahami urgensi kolaborasi lintas sektor dalam menciptakan langkah-langkah konkret untuk memperkuat sistem tanggap darurat gizi.
Kartika Wahyu Dwi Putra, S.K.M., M.Kes., dari Direktorat Gizi dan KIA, Dirjen Kesehatan Masyarakat Kementerian Kesehatan, memaparkan pentingnya pendekatan holistik dalam menjaga kesehatan ibu dan anak pada situasi bencana. Ia menjelaskan bahwa kerangka respon gizi pada masa tanggap darurat meliputi berbagai tahap, mulai dari kajian dan analisis kebutuhan, perencanaan, mobilisasi sumber daya, pelaksanaan intervensi gizi sensitif, hingga monitoring dan evaluasi. “Koordinasi lintas sektor, komunikasi risiko, dan pelibatan masyarakat adalah faktor krusial dalam memastikan keberhasilan intervensi gizi selama bencana,” ujar Kartika.
Tahapan awal respon dimulai dengan pengumpulan dan analisis data pra-bencana untuk menilai kebutuhan awal serta penyusunan laporan yang terintegrasi. Kartika juga menyoroti pentingnya survei gizi yang dilakukan saat kondisi mulai bertransisi menuju normal. “Suplementasi gizi dan dukungan kepada kelompok rentan seperti balita, ibu hamil, dan ibu menyusui menjadi prioritas utama dalam mencegah gizi buruk,” tutur Kartika. Ia menekankan perlunya kajian mendalam terhadap kerawanan pangan, kondisi pasar lokal, dan preferensi budaya dalam menentukan intervensi yang efektif.
Menurut Kartika, koordinasi dalam penanganan gizi saat bencana membutuhkan kerja lintas sektor yang terorganisir. Aktivasi mekanisme sub-kluster gizi menjadi langkah strategis untuk memastikan semua sumber daya dan wilayah kerja mitra dikelola secara efisien. “Kami memastikan bahwa isu-isu khusus, seperti perlindungan anak, perempuan, dan penyandang disabilitas, diintegrasikan dalam rencana kerja untuk memberikan dukungan menyeluruh,” tuturnya. Di akhir paparannya, Kartika menggarisbawahi pentingnya peningkatan kapasitas Sumber Daya Manusia sebagai langkah antisipasi menghadapi bencana di masa mendatang. Melalui pendekatan ini, diharapkan dampak bencana terhadap kesehatan dan gizi masyarakat dapat diminimalisir.
“Pada situasi darurat, sering terjadi peningkatan gizi buruk, gizi kurang, kekurangan mikronutrien, bahkan masalah gizi kronis di beberapa konteks,” ungkap Sri Wahyuni Sukotjo, B.Sc., M.A., spesialis nutrisi dari UNICEF Indonesia. Fokus utama intervensi gizi dalam keadaan darurat adalah dukungan dan perlindungan pemberian makan bayi serta anak yang tepat, penanganan gizi buruk, pencegahan kekurangan mikronutrien, pemberian ransum atau PMT (Pemberian Makanan Tambahan), hingga dukungan gizi untuk kelompok berkebutuhan khusus, seperti penderita HIV/AIDS.
Sri Wahyuni menekankan pentingnya mengombinasikan intervensi gizi spesifik dengan intervensi gizi sensitif, termasuk dukungan ekonomi, skema perlindungan sosial, serta penyediaan air bersih dan sanitasi. “Respon gizi pada situasi darurat tidak hanya bertujuan untuk mencegah morbiditas dan mortalitas jangka pendek, tetapi juga meningkatkan ketahanan masyarakat dalam jangka panjang,” jelasnya. Pendekatan ini mencakup kesiapsiagaan, pemrograman berbasis risiko, serta pemulihan dini yang berorientasi pada penguatan kapasitas lokal tanpa ketergantungan pada sumber daya eksternal. Lebih jauh, Sri Wahyuni menyoroti kondisi jutaan anak di dunia yang terdampak oleh konflik, perubahan iklim, pengungsian, kemiskinan, serta wabah penyakit. Hak-hak dasar mereka kerap terabaikan, sehingga dibutuhkan penerapan standar minimum kemanusiaan. “Sphere telah mendefinisikan dan mempromosikan prinsip-prinsip kemanusiaan dalam empat bidang penyelamatan: air dan sanitasi, ketahanan pangan dan gizi, tempat tinggal, serta kesehatan,” tambah Sri Wahyuni. Melalui pendekatan holistik ini, UNICEF terus berupaya meningkatkan dukungan gizi yang terintegrasi, berkelanjutan, dan berorientasi pada pemenuhan kebutuhan kelompok rentan di masa bencana. Penanganan yang komprehensif menjadi kebutuhan mendesak dalam upaya menghadapi risiko bencana besar, seperti ancaman megathrust dan situasi darurat lainnya.
Dr. Ir. Afrial Rosya, M.A., M.Si., dari Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), menekankan bahwa mitigasi bencana tidak hanya fokus pada pembangunan infrastruktur, seperti sistem peringatan dini dan tanggul laut, tetapi juga pada peningkatan kapasitas masyarakat melalui edukasi dan pelatihan. “Kolaborasi antara pemerintah, masyarakat, dan perguruan tinggi sangat penting untuk memastikan kesiapsiagaan bencana yang berkelanjutan,” tegas Dr. Afrial. Ia juga menyoroti pentingnya platform InaRisk sebagai alat berbasis teknologi untuk menganalisis risiko bencana secara efektif. Dalam konteks ini, aspek gizi masyarakat menjadi elemen vital untuk memastikan kesehatan tetap terjaga selama dan setelah bencana.
Senada dengan itu, Dr. Cri Sajjana Prajna Wekadigunawan, DVM., M.P.H., Ph.D., dari Palang Merah Indonesia (PMI), memaparkan bahwa respon terhadap gizi darurat memerlukan optimalisasi dapur umum sebagai bagian integral dari manajemen tanggap bencana. “Prinsip dasar dapur umum meliputi efisiensi waktu, kebersihan, dan keadilan dalam distribusi makanan,” jelasnya. Melalui pendekatan berbasis komunitas dan komponen makanan sehat yang mencakup protein, karbohidrat, serta mikronutrien, PMI memastikan kebutuhan dasar korban bencana terpenuhi secara merata. Selain itu, pendekatan 6M — mencakup men (manusia), money (dana), material (bahan), machine (mesin), method (metode), dan market (sasaran) — diterapkan untuk meningkatkan efektivitas pengelolaan logistik. (DFD)