Pemerintah Indonesia telah mengubah sistem sertifikasi halal dari sukarela menjadi wajib dalam rangka memastikan kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat, termasuk vaksin. Kebijakan ini sejalan dengan Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal, yang diperkuat oleh Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2024 tentang Penyelenggaraan Bidang Jaminan Produk Halal (JPH). Namun, sertifikasi halal dalam implementasinya kerap menghadapi tantangan.
Pada, Rabu, 5 Maret 2025, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) bersama The University of Edinburgh sukses menyelenggarakan Seminar Online FKM UI Seri 1 dengan tema Vaksin Halal, Fakta Ilmiah, Regulasi, dan Tantangan Kesehatan Masyarakat. Acara yang berlangsung di Ruang Promosi Doktor, Gedung G FKM UI dan disiarkan langsung melalui platform Zoom Meetings dan Youtube Live Streaming ini menghadirkan para ahli dari berbagai bidang untuk membahas vaksin halal secara komprehensif. Beberapa pembicara yang diundang antara lain Dr. Haikal Hassan sebagai Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Indonesia yang diwakili oleh Dr. Muhammad Aqil Irham, Sekretaris Utama BPJPH; M. Indra Lamora dari Etana Biotech, serta Diah Puspitasari, M.Biomed dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Selain itu, turut hadir dua akademisi, yakni Dr. Sudeepa Abeysinghe dari Universitas Edinburgh dan Dr. Wahyu Septiono dari FKM UI.
Seminar yang dipandu oleh Muh. Agung Saharuddin, mahasiswa pascasarjana FKM UI ini bertujuan untuk memberikan wawasan mendalam mengenai vaksin halal, mengingat topik ini kerap menjadi perhatian masyarakat luas. Dekan FKM UI, Prof. dr. Mondastri Korib Sudaryo, M.S., D.Sc., turut memberikan sambutan sekaligus secara resmi membuka SEMOL FKM UI Seri 1. “Perjalanan pengembangan vaksin tidaklah mudah, sebagaimana yang telah terlihat selama pandemi COVID-19. Kejadian tersebut menjadi pelajaran berharga mengenai pentingnya kesiapsiagaan dalam menghadapi tantangan kesehatan global,” tuturnya. Prof. Mondastri menekankan peran FKM UI sebagai penggerak industri kesehatan, tidak hanya untuk saat ini tetapi juga di masa depan. Oleh karena itu, melalui seminar ini, para peserta yang merupakan akademisi tidak hanya dari Indonesia tetapi juga dari beberapa negara lain termasuk Thailand dan Eropa, diajak untuk mengkaji lebih dalam aspek ilmiah, regulasi, dan tantangan vaksin halal dalam sistem kesehatan masyarakat.
Rektor Universitas Indonesia, Prof. Dr. Ir. Heri Hermansyah, S.T., M.Eng., IPU., memberikan sambutan dan mengapresiasi penyelenggaraan SEMOL Seri 1 FKM UI. Prof. Heri menekankan bahwa seminar ini menjadi ruang diskusi yang penting dalam memahami dinamika penyerapan vaksin di Indonesia serta aspek ilmiah kebijakan dan kesehatan masyarakat. “Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia menghadapi tantangan unik dalam penerimaan vaksin, terutama dari aspek kehalalan. Oleh karena itu, keterlibatan pemerintah, akademisi, dan industri sangat diperlukan untuk memastikan bahwa informasi yang diberikan kepada masyarakat akurat, berbasis bukti, serta mampu meningkatkan pemahaman terhadap vaksinasi,” ujar Prof. Heri. Rektor UI juga berharap seminar ini dapat memberikan wawasan yang lebih luas kepada para peserta serta mendorong diskusi yang konstruktif dalam penguatan kebijakan vaksinasi di Indonesia.
Melalui paparannya, Dr. Muhammad Aqil Irham menjelaskan bahwa berdasarkan Pasal 4 UU No. 33 Tahun 2014, setiap produk yang masuk, beredar, dan diperdagangkan di wilayah Indonesia wajib bersertifikat halal. Sebagai negara dengan populasi muslim terbesar di dunia, Indonesia memiliki kebutuhan mendesak untuk memastikan kehalalan produk yang dikonsumsi masyarakat, termasuk vaksin. “Status halal vaksin memiliki dampak signifikan terhadap tingkat kepercayaan dan penerimaan masyarakat terhadap program vaksinasi. Kekhawatiran terkait kandungan bahan dan proses produksi vaksin sering kali menjadi penghalang utama dalam meningkatkan cakupan vaksinasi nasional. Oleh karena itu, sertifikasi halal yang terpercaya menjadi kunci untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dan melindungi kesehatan publik,” ujar Dr. Muhammad Aqil Irham.
Mendukung implementasi kebijakan ini, sejak 1 Maret 2022, setiap produk yang telah mendapatkan sertifikasi halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) diwajibkan mencantumkan label halal pada kemasannya. Selain memberikan jaminan bagi konsumen domestik, kebijakan ini juga bertujuan memperkuat hubungan diplomatik serta meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global. Melalui mekanisme mutual-recognition agreement (MRA) dalam bidang halal, Indonesia telah menjalin kerja sama dengan berbagai negara guna memperlancar perdagangan produk halal secara bertanggung jawab. Saat ini, 64 lembaga halal luar negeri (LHLN) dari 27 negara telah terakreditasi dan menandatangani MRA, dari total 152 pengajuan yang berasal dari 46 negara.
Dari perspektif industri, M. Indra Lamora dari Etana Biotech menjelaskan bahwa proses sertifikasi halal vaksin meliputi beberapa tahapan utama. “Proses ini diawali dengan pembuatan sistem jaminan halal, diikuti dengan pengkajian bahan dan fasilitas manufaktur, serta evaluasi dari Lembaga Pemeriksa Halal (LPH). Setelah proses penilaian selesai, barulah sertifikat halal dapat diterbitkan,” jelas Indra Lamora.
Namun, implementasi sertifikasi halal vaksin masih menghadapi berbagai tantangan. Salah satu kendala utama adalah potensi penggunaan komponen media yang tidak halal dalam proses produksi. Untuk mengatasi hal ini, diperlukan sistem verifikasi yang ketat guna memastikan ketelusuran bahan baku serta bahan tambahan yang digunakan. Selain itu, sinergi antara Kementerian terkait, BPJPH, LPH, BPOM, dan Kementerian Kesehatan sangat diperlukan dalam menyusun peta jalan (roadmap) vaksin halal di Indonesia. “Diperlukan juga peningkatan keterlibatan produsen bahan baku dalam pengawasan dari hulu ke hilir, serta monitoring dan evaluasi berkala untuk menjamin kepatuhan terhadap standar halal yang telah ditetapkan,” tambah Indra Lamora.
Diah Puspitasari, S.Farm, Apt, M.BiomedSc., Ketua Tim Kerja Registrasi Produk Biologi yang hadir secara daring, menegaskan bahwa peran BPOM dalam menjamin keamanan, mutu, dan khasiat vaksin serta produk biologi halal sangatlah krusial. Ia menjelaskan bahwa khasiat memastikan produk memberikan manfaat sesuai klaimnya, sementara keamanan menjadi prioritas utama untuk mencegah risiko efek samping yang berbahaya. Selain itu, mutu yang konsisten dalam kandungan, proses pembuatan, dan efektivitas produk juga menjadi aspek yang tak kalah penting. “Jaminan keamanan, mutu, dan khasiat sangat penting agar masyarakat yakin terhadap manfaat vaksin dan produk biologi yang digunakan,” ujar Diah.
Dr. Sudeepa Abeysinghe dari Global Health Policy Unit, University of Edinburgh, menambahkan bahwa keputusan seseorang untuk divaksinasi dipengaruhi oleh berbagai faktor sosial. Beberapa di antaranya adalah penerimaan pasif, rasa altruisme, tren sosial (bandwagoning), serta persepsi terhadap risiko penyakit. “Keputusan vaksinasi tidak hanya bersifat individual, tetapi juga dipengaruhi oleh dinamika sosial dan kepercayaan terhadap manfaat vaksin,” jelas Dr. Sudeepa.
Dalam konteks kesehatan masyarakat, Dr. Wahyu Septiono dari FKM UI menyoroti pentingnya vaksinasi di tengah maraknya misinformasi, re-emerging diseases, dan potensi wabah baru. Ia mengungkapkan beberapa hambatan dalam sertifikasi halal vaksin, termasuk keterbatasan auditor halal dengan latar belakang sains serta perbedaan pendapat terkait bahan baku impor yang sulit ditelusuri kehalalannya. “Kurangnya pemahaman masyarakat dan patriarki dalam pengambilan keputusan keluarga turut memengaruhi tingkat kepercayaan terhadap vaksin halal,” tutur Dr. Wahyu.
Sebagai solusi, diperlukan peningkatan transparansi bahan baku vaksin dari produsen luar negeri, penyusunan daftar bahan baku halal dalam sistem informasi berbasis pencarian, serta peningkatan jumlah auditor halal yang memiliki kompetensi di bidang sains dan agama. “Penyederhanaan proses sertifikasi dengan standar baku yang seragam akan membantu meningkatkan akses terhadap vaksin halal di Indonesia,” tutup Dr. Wahyu.
Melalui regulasi yang jelas, kerja sama lintas sektor, serta penguatan sistem pengawasan, diharapkan sertifikasi halal vaksin dapat lebih efektif dalam mendukung keberlanjutan program vaksinasi di Indonesia dan meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap produk vaksin yang tersedia. (DFD)