Susun Policy Brief bersama Pemangku Kepentingan, FKM UI Soroti Risiko ILD dan Fibrosis Paru akibat Hilirisasi Industri

Depok, 31 Juli 2025 — Percepatan hilirisasi nikel menjadikan Indonesia aktor utama dalam rantai pasok global baterai dan energi bersih. Namun, industrialisasi ini meningkatkan risiko gangguan respirasi, seperti Interstitial Lung Disease (ILD) dan fibrosis paru, akibat paparan emisi berbahaya seperti SO₂, NO₂, debu, PM2.5, dan logam berat. Tanpa mitigasi, diperkirakan akan terjadi lonjakan penyakit paru hingga kematian dini, serta kerugian produktivitas nasional yang dapat melampaui 70% nilai royalti dalam satu dekade.

Merespon kondisi tersebut, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) menggelar rapat lanjutan bertajuk “Dampak Hilirisasi dan Industrialisasi terhadap Kesehatan Respirasi, khususnya Interstitial Lung Disease (ILD) dan Fibrosis Paru” pada Kamis (31/7) di Gedung A Rumpun Ilmu Kesehatan (RIK) UI. Pertemuan ini menghadirkan para ahli dari sektor kesehatan, energi, lingkungan, dan ketenagakerjaan untuk merumuskan rekomendasi kebijakan lintas sektor yang responsif terhadap dampak respirasi akibat percepatan industrialisasi.

ILD adalah penyakit kompleks dengan gejala samar namun progresif. “Gejala seperti batuk kering dan sesak napas perlahan sering dianggap remeh. Padahal, bila terlambat dideteksi, fibrosis paru bisa irreversible,” ujar dr. Fanny Fachrucha, Sp.P(K) dari RSUP Persahabatan. Pemeriksaan seperti HRCT dan spirometri sangat penting, namun belum banyak tersedia di daerah.

Dekan FKM UI, Prof. dr. Mondastri Korib Sudaryo, M.S., D.Sc., menegaskan pentingnya memperkuat upaya promotif dan preventif dalam sistem kesehatan kerja. Ia menekankan bahwa di tengah laju industrialisasi dan hilirisasi yang semakin progresif, dampaknya terhadap kesehatan masyarakat tidak dapat diabaikan, terutama akibat paparan bahan atau produk sampingan industri. Dalam jangka panjang, risiko penyakit paru kronis seperti ILD pada pekerja perlu diantisipasi secara serius. “Kami melihat urgensi untuk menyusun intervensi kolaboratif agar pembangunan tidak menimbulkan beban kesehatan jangka panjang, terutama penyakit paru akibat paparan lingkungan,” jelas Prof. Mondastri. Sejalan dengan hal tersebut, Prof. Dr. Robiana Modjo, S.K.M., M.Kes., selaku penanggung jawab kegiatan, turut menyampaikan pentingnya pengarusutamaan aspek kesehatan dalam setiap tahapan hilirisasi bagi pekerja dan masyarakat sekitar.

Prof. Dr. dr. Erlina Burhan, Sp.P(K), M.Sc., selaku perwakilan dari Satuan Tugas Hilirisasi dan Kesehatan Respirasi, dalam sambutannya menyampaikan bahwa rapat ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan sebelumnya yang diselenggarakan pada 3 hari lalu, yaitu pada 28 Juli 2025. Menurutnya, di balik peningkatan pertumbuhan ekonomi yang dibawa oleh pembangunan kawasan industri, terdapat ancaman serius terhadap kesehatan respirasi, terutama di wilayah nikel dan batubara, baik bagi masyarakat sekitar maupun para pekerja. Prof. Erlina juga menekankan pentingnya pendekatan lintas sektor dan lintas disiplin dalam merumuskan kebijakan yang berbasis bukti (evidence-based). Ia mendorong pembentukan kelompok kerja (pokja) yang terdiri dari akademisi, peneliti, praktisi kesehatan paru, dan tenaga ahli kesehatan masyarakat. Pokja ini diharapkan mampu menjembatani suara masyarakat terdampak dan merumuskan arah kelembagaan yang berkelanjutan. “Ini bukan semata isu penyakit, tetapi isu keadilan,” tegas Prof. Erlina.

Dalam kesempatan ini, diwakili oleh dr. Farchan Azzumar, Satgas memaparkan policy brief yang tengah disusun guna menjawab tantangan kesehatan respirasi di tengah percepatan industrialisasi dan hilirisasi sumber daya alam di Indonesia. dr. Farchan menyampaikan bahwa meski pemerintah telah memiliki regulasi emisi, AMDAL, serta program kesehatan kerja, laju hilirisasi saat ini melampaui kapasitas pengawasan dan regulasi yang ada. Beberapa persoalan utama mencakup: belum diperbaruinya batas ambang emisi sesuai perkembangan teknologi terkini; belum wajibnya penggunaan alat pengendali polusi udara (APC) di semua smelter; pemantauan kualitas udara yang masih manual dan tidak transparan; integrasi data penyakit respirasi yang lemah antara klinik industri dan fasilitas kesehatan masyarakat; serta keterbatasan sumber daya dalam penegakan regulasi K3. Di sisi lain, inisiatif CSR oleh industri masih bersifat sporadis dan belum sistemik dalam menekan angka penyakit. Masalah ini bukan semata isu lingkungan, melainkan menyangkut keberlanjutan ekonomi, reputasi global, dan kesehatan jutaan rakyat.

Sebagai solusi, Satgas mengajukan sejumlah rekomendasi kebijakan kepada pemerintah pusat, khususnya Kementerian ESDM, KLHK, Kemenperin, Kemenkes, dan Kemenkeu. Beberapa poin utamanya antara lain: memperbarui batas ambang emisi dan mewajibkan penggunaan alat APC di semua smelter dan PLTU; menerapkan sistem pemantauan emisi real-time (CEMS); menyediakan dashboard data kualitas udara yang terbuka untuk publik; mengembangkan registri nasional penyakit respirasi berbasis lokasi; serta mengintegrasikan data surveilans penyakit antara klinik industri dan Dinas Kesehatan. Selain itu, Satgas juga mendorong adanya skema pajak polusi untuk membiayai layanan kesehatan respirasi serta insentif fiskal bagi industri yang menurunkan emisi secara signifikan. Penegakan prinsip K3 juga harus diperkuat di seluruh lini industri. Seluruh rekomendasi tersebut dirancang berdasarkan data dan riset yang menunjukkan tingginya beban kesehatan akibat polusi industri nikel. Kebijakan ini realistis, efisien dari sisi biaya (cost-effective), dan konsisten dengan praktik terbaik internasional. Diharapkan, hilirisasi dapat menjadi contoh pembangunan yang tidak hanya mendorong PDB, tetapi juga melindungi kesehatan masyarakat.

Dean Andreas Simorangkir, S.T., M.T., dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), menyoroti bahwa isu kesehatan paru dan gangguan pernapasan, baik pada pekerja tambang maupun masyarakat sekitar, merupakan perhatian bersama yang memerlukan pendekatan lintas sektor, termasuk sektor kesehatan, ketenagakerjaan, lingkungan, serta energi dan sumber daya mineral. Sebagai lembaga teknis di bidang energi dan sumber daya mineral, Kementerian ESDM mendorong agar policy brief ini tidak hanya menyoroti permasalahan kesehatan, tetapi juga menyajikan solusi yang bersifat praktis dan aplikatif, sehingga dapat mendukung perumusan kebijakan sektoral yang implementatif. “Di sisi lain, mengingat kegiatan pertambangan mineral masih memegang peranan strategis sebagai salah satu sumber penerimaan negara dan penggerak perekonomian nasional, penting bagi policy brief ini untuk turut mengakui peran vital sektor pertambangan, sembari mendorong pelaksanaan praktik pertambangan yang bertanggung jawab dan memperhatikan aspek kesehatan masyarakat,” sambung Dean Andreas.

Pandangan tersebut sejalan dengan Dr. dr. Sudi Astono dari Kementerian Ketenagakerjaan, yang menekankan bahwa setiap pembangunan pasti memiliki dua sisi. “Kita tidak tahu siapa yang lebih terdampak, pekerja atau masyarakat. Karena itu, penting sekali untuk melakukan medical check-up berbasis risiko, terutama untuk populasi pekerja,” ujarnya. Ia menyoroti bahwa banyak program pemeriksaan kesehatan gratis justru tidak efektif secara biaya karena tidak menyasar kelompok rentan atau tidak sesuai dengan faktor risiko pekerjaan. “Padahal bila diarahkan tepat sasaran, kita bisa menekan beban pembiayaan negara dan perusahaan,” tambahnya. Ia juga mendorong perlunya skema insentif bagi perusahaan yang melakukan pelaporan risiko kesehatan secara transparan.

Senada dengan hal tersebut, Dr. Selamet Riyadi, S.K.M., M.K.K.K., dari Kementerian Kesehatan menambahkan bahwa pemeriksaan kesehatan gratis seharusnya tidak semata-mata berbasis usia, melainkan mempertimbangkan tingkat risiko paparan. Ia menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor agar setiap masyarakat dapat memperoleh akses layanan kesehatan yang adil. “Koordinasi dari para ahli hari ini sangat penting untuk ditindaklanjuti hingga ke tingkat layanan kesehatan,” ujarnya.

Ke depan, kegiatan ini akan dilanjutkan dengan proses penyusunan policy brief final yang lebih komprehensif, serta persiapan agenda audiensi kepada pemangku kepentingan terkait. Langkah ini menjadi bagian dari upaya strategis untuk mendorong lahirnya kebijakan yang berpihak pada keselamatan pekerja dan masyarakat di tengah masifnya pembangunan industri di Indonesia.

Rapat ini dihadiri oleh berbagai pemangku kepentingan lintas profesi dan lembaga, antara lain Dean Andreas Simorangkir dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM); Prof. Dr. Robiana Modjo, S.K.M., M.K.M. (Penanggung Jawab Kegiatan dari FKM UI, Guru Besar K3 FKM UI); drg. Baiduri Widanarko, M.K.K.K., Ph.D. (Ketua Departemen Kesehatan dan Keselamatan Kerja FKM UI); Prof. Indri Hapsari Susilowati, S.K.M., M.K.K.K., Ph.D. (Manajer Kerja Sama, Hubungan Alumni dan Ventura, FKM UI); serta dr. Rita Rogayah, Sp.P(K), M.A.R.S., dan Purn. Brigjen TNI dr. Alexander K. Ginting S., Sp.P(K), FCCP dari Satgas Hilirisasi dan Kesehatan Respirasi bersama dengan 6 perwakilan lainnya. Selain itu, hadir pula perwakilan dari RSUP Persahabatan, Departemen Pulmonologi RSPAD Gatot Subroto, RSPI Sulianti Saroso, RSUI, FKUI, Perhimpunan Dokter Paru Indonesia (PDPI), Perhimpunan Dokter Kesehatan Kerja Indonesia (IDKI, dan Perhimpunan Spesialis Kedokteran Okupasi Indonesia (PERDOKI). (DFD)