Arthritis rheumatoid (AR) adalah peradangan kronik autoimun yang terutama melibatkan persendian secara bilateral dan simetris. Penyakit AR merupakan salah satu penyakit yang mempunyai efek jangka panjang berupa kecacatan, penurunan kualitas hidup, dan peningkatan angka mortalitas, terutama pada pasien yang mengalami kegagalan terapi. Hingga kini, penyebab AR belum diketahui dengan pasti, namun faktor genetik dan faktor lingkungan mempunyai kontribusi terhadap kejadian.
Methotrexate (MTX) menjadi obat pilihan utama dalam pengobatan AR karena respon klinik yang baik, terutama pada terapi yang diberikan sedini mungkin atau window of opportunity, yakni ketika intervensi terapi dapat menghentikan progresivitas penyakit atau keadaan remisi yang sepanjang mungkin.
Kendati demikian, belum ada penelitian yang menilai peran faktor-faktor terhadap kegagalan tercapainya target terapi MTX pada pasien AR di Indonesia. Prediksi kegagalan atau keberhasilan terapi MTX masih jarang dilakukan terutama pengembangan terhadap suatu sistem skoring yang aplikatif. Padahal, dengan mengetahui sedini mungkin determinan yang memengaruhi kegagalan pengobatan pada pasien AR dapat diperkirakan tatalaksana yang optimal sedari awal.
Berdasarkan latar belakang dan permasalahan yang ada, Fara Fauzia melakukan penelitian di dalam disertasi yang berjudul “Skoring Prediktor Kegagalan Monoterapi Metotreksat pada Pasien Artritis Reumatoid di RSUPN Cipto Mangunkusumo” dengan tujuan untuk menganalisis faktor-faktor yang memengaruhi kegagalan pengobatan metotreksat pada pasien AR di skala rumah sakit dengan menyesuaikan kondisi di Indonesia serta melakukan pengembangan sistem skoring prediktor terhadap kegagalan monoterapi metotreksat. Pada, Senin, 1 Juli 2024, Fara Fauzia melaksanakan Sidang Terbuka Promosi Doktor Epidemiologi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) di Ruang Promosi Doktor, Gedung G, FKM UI.
Metode penelitian yang digunakan adalah desain studi kohort retrospektif yang menggunakan data rekam medis elektronik (RME) pada pasien Poli Reumatologi Penyakit Dalam RSCM dengan kurun waktu Oktober 2020 – September 2023. Penelitian yang dilakukan oleh Fara Fauzia menggunakan jumlah sampel sebanyak 215 subyek setelah melalui seleksi kriteria inklusi dan eksklusi. Adapun hasil penelitian yang dilakukan memberikan kesimpulan bahwa jumlah sendi nyeri ≥ 6, obesitas, faktor peradangan LED, dan derajat aktivitas penyakit yang tinggi merupakan variabel yang memengaruhi kegagalan monoterapi metotreksat, serta pembentukan skoring prediksi yang kemudian disebut TOLD (Tender Joint Count ≥ 6, Obesitas, LED di atas normal, dan Derajat Aktivitas Penyakit yang tinggi) oleh Fara Fauzia memiliki nilai diskriminasi dan kalibrasi yang cukup baik.
Berdasarkan hasil penelitiannya, Fara menyarankan pada peneliti dan institusi pendidikan agar melakukan penelitian lebih lanjut dengan data yang lebih lengkap dan komprehensif serta melibatkan lebih banyak institusi dan sentra pendidikan di Indonesia yang berhubungan dengan masalah artritis reumatoid. Untuk klinisi dan fasilitas pelayanan kesehatan, Fara menyarankan agar masalah obesitas pada pasien AR harus mendapat perhatian untuk diperbaiki, derajat aktivitas penyakit yang tinggi, disertai nilai LED yang tinggi, serta jumlah sendi yang bengkak lebih atau sama dengan enam, diketahui menjadi faktor risiko kegagalan terapi, sehingga para klinisi harus mengupayakan seoptimal mungkin untuk segera mengontrol inflamasi. Sementara untuk Perhimpunan Reumatologi Indonesia, Fara menyarankan agar dapat melakukan advokasi terhadap kementerian kesehatan untuk mendapatkan obat-obatan yang tidak masuk dalam formularium obat nasional seperti obat golongan DMARD biologik serta disarankan kepada pasien dan keluarga melakukan penanganan dan pencegahan obesitas serta melakukan pengobatan secara teratur.
“Selamat atas promosi Doktor Fara Fauzia. Hasil penelitian yang dilakukan saudari dapat digunakan pada pelayanan klinis dan tatalaksana pasien AR dalam hal melakukan penilaian yang cepat terhadap kemungkinannya. Dengan selesainya program doktor ini, bukan berarti akhir dari perjuangan saudari, tapi merupakan titik awal dari perjalanan karir yang panjang saudari sebagai doktor epidemiologi,” tutur Prof. drg. Nurhayati A. Prihartono, M.P.H., M.Sc., Sc.D., dalam memberikan sambutan.
Pada akhir sidang, ketua sidang menyampaikan keputusan bahwa Fara Fauzia yang lahir pada 23 Juli 1975 di Jakarta, dinyatakan lulus dan berhasil memperoleh gelar doktor dalam bidang Epidemiologi sebagai lulusan S3 Epidemiologi tahun 2024 ke-6, lulusan S3 Epidemiologi ke-110, dan lulusan S3 di FKM UI ke-412, serta berpredikat summa cum laude.
Sidang dipimpin oleh Prof. Dr. dr. Sudarto Ronoatmodjo, S.K.M., M.Sc., serta Prof. drg. Nurhayati A. Prihartono, M.P.H., M.Sc., Sc.D., selaku Promotor dan Prof. Dr. dr. Ratna Djuwita Hatma, M.P.H., selaku Ko-promotor. Tim penguji dalam sidang yakni Prof. Dr. dr. Radiyati Umi Partan Sp.PD., KR., M.Kes.; Prof. dr. Asri C. Adisasmita, M.P.H., M.Phil., Ph.D.; Dr. dr Laniyati Hamijoyo, Sp.PD-KR., M.Kes.; serta Trisari Anggondowati, S.K.M., M. Epid., Ph.D. (ITM)