Tingginya tingkat konsumsi gula, garam, dan lemak atau disingkat GGL disebabkan oleh mudahnya akses pada makanan dan minuman yang mengandung GGL dan belum semua lapisan masyarakat terpapar edukasi mengenai batasan konsumsi GGL setiap harinya. Berdasarkan urgensi tersebut, Departemen Gizi Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) menyelenggarakan webinar Gizi Untuk Bangsa (GUB) ke-XIII yang mengangkat isu gizi terkini bertema “Menuju Indonesia Bijak Konsumsi GGL, Seberapa Jauh Kontribusi Multisektoral Diperlukan?”. Pemilihan tema ini bertujuan untuk meningkatkan wawasan gizi, terutama mengenai konsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) pada masyarakat Indonesia. Kegiatan Gizi untuk Bangsa (GUB) meliputi webinar dan diseminasi hasil penelitian dari mahasiswa Sarjana Gizi dan Magister Kesehatan Masyarakat Peminatan Gizi FKM UI tahun 2024. GUB seri ke-XIII ini diselengarakan pada Sabtu, 14 September 2024 secara daring melalui Zoom Meetings dan melibatkan sekitar 200 partisipan dari berbagai institusi yang terdiri dari akademisi bidang gizi dan kesehatan, praktisi gizi dan kesehatan, lembaga swadaya masyarakat, serta masyarakat umum.
Dr. Ir. Trini Sudiarti, M.Si., Dosen Gizi UI, membuka diskusi dengan menyampaikan data terkini terkait konsumsi GGL di Indonesia. Berdasarkan survei, sebanyak 67,4% remaja berusia 12-17 tahun rutin mengonsumsi minuman manis lebih dari sekali per hari. Selain itu, 53,7% penduduk Indonesia mengonsumsi garam lebih dari 5 gram per hari, dan sekitar 18,7% penduduk mengonsumsi garam dalam jumlah yang lebih tinggi, yaitu 10-30 gram per hari. Sementara itu, asupan lemak juga cukup tinggi, dengan rata-rata konsumsi lemak mencapai 53,3 gram per kapita per hari, dan 27% penduduk mengonsumsi lemak lebih dari 67 gram per hari. Dalam pemaparannya, Dr. Trini menekankan, “Konsumsi gula berlebih dapat mengakibatkan insulin menjadi resisten, yang berarti tubuh tidak mampu menjalankan tugasnya dalam metabolisme gula. Hal ini berisiko menyebabkan hiperglikemia, obesitas, dan diabetes melitus. Sedangkan asupan garam berlebih bisa meningkatkan tekanan darah, yang dapat berujung pada serangan jantung.” Dr. Trini juga menekankan pentingnya literasi masyarakat untuk dapat membaca label makanan dan minuman kemasan. “Peran edukasi dan intervensi sangat penting. Masyarakat perlu lebih sadar tentang batasan konsumsi GGL, serta memahami label pangan yang ada di setiap kemasan,” ujar Dr. Trini.
Selanjutnya, Mahmud Fauzi, S.K.M., M.Kes., dari Direktorat Gizi dan Kesehatan Ibu dan Anak Kemenkes RI, memaparkan langkah-langkah yang telah diambil pemerintah dalam mengontrol konsumsi GGL berlebih melalui kebijakan. Sesuai dengan UU No. 17 Tahun 2023 tentang kesehatan, pemerintah berupaya meningkatkan mutu gizi masyarakat melalui perbaikan pola konsumsi makanan yang bergizi seimbang dan aman. “Strategi utama kami mencakup penyediaan akses pangan yang bergizi dan seimbang, promosi perilaku konsumsi sehat, serta pengayaan zat gizi melalui fortifikasi dan suplementasi,” ungkap Mahmud Fauzi. Ia juga menyatakan bahwa kolaborasi lintas sektor dan surveilens gizi menjadi pilar penting untuk memastikan keberhasilan intervensi gizi pemerintah. Fauzi juga menambahkan, “Melalui upaya ini, kami berharap mampu menurunkan prevalensi penyakit tidak menular yang berhubungan dengan konsumsi GGL, seperti diabetes dan hipertensi.”
Lebih lanjut, Dra. Dwiana Andayani, Apt., Direktur Standarisasi Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), menyoroti regulasi terkait konsumsi GGL di Indonesia. Tahun 2024 ini, BPOM sedang merevisi Peraturan Nomor 26 Tahun 2021 tentang Informasi Nilai Gizi pada Label Pangan Olahan, dengan tujuan untuk memperkuat pengendalian konsumsi GGL di masyarakat. “Kami sedang mengupayakan perubahan kebijakan pelabelan gizi pada bagian depan kemasan (FOPNL), pembaruan takaran saji, serta acuan label gizi, dan tata cara pencantuman Informasi Nilai Gizi (ING) yang lebih mudah dipahami konsumen,” jelas Dwiana. Menurutnya, kebijakan ini bertujuan agar masyarakat dapat dengan cepat memahami kandungan gizi produk yang mereka konsumsi, sehingga bisa membuat pilihan yang lebih sehat. Lebih lanjut, ia mengatakan, “Langkah-langkah seperti pembatasan pemasaran pangan tinggi GGL, penerapan cukai pada makanan dan minuman tertentu, serta reformulasi produk pangan akan menjadi strategi penting dalam mengurangi risiko kesehatan akibat konsumsi GGL berlebih.”
Selain itu, terdapat simposium yang terdiri dari dua sesi. Sesi pertama membahas berbagai aspek terkait pola konsumsi GGL, status gizi lebih, gizi remaja, perilaku diet, perilaku makan menyimpang, serta literasi dan intervensi gizi. Diskusi dalam sesi ini berfokus pada bagaimana konsumsi GGL memengaruhi status gizi remaja dan mendorong perilaku diet yang tidak sehat, serta pentingnya edukasi gizi untuk mencegah masalah ini. Sementara sesi kedua berfokus pada penyakit tidak menular (PTM) A dan B, anemia dan zat besi, serta gizi kurang pada balita. Pembahasan ini menekankan pentingnya intervensi gizi dalam pencegahan dan penanganan PTM, serta upaya untuk mengatasi kekurangan gizi dan anemia pada balita, yang menjadi masalah kesehatan utama di Indonesia.
Webinar dan simposium Gizi untuk Bangsa (GUB) seri ke-XIII ini berhasil memberikan wawasan tentang tren konsumsi GGL serta dampaknya terhadap kesehatan masyarakat di Indonesia. Melalui berbagai materi yang disampaikan oleh para ahli dari akademisi dan pemerintah, peserta diajak untuk lebih memahami pentingnya pola konsumsi sehat dan intervensi gizi yang tepat. Melalui kolaborasi lintas sektor dan regulasi yang diperbarui, diharapkan konsumsi GGL di masyarakat dapat dikontrol, sehingga risiko penyakit tidak menular dapat ditekan. Seminar ini menjadi langkah penting dalam upaya bersama menuju masyarakat Indonesia yang lebih sehat dan sadar gizi. (DFD)