Rabu, 10 Juni 2020, Fakultas Keshesatan Masyarakat Universitas Indonesia (FKM UI) mengadakan Web Seminar atau webinar dalam rangka merespon perkembangan pandemi COVID-19 di Indonesia saat ini. FKM UI menghadirkan dua pembicara ahli yaitu dr. Mondastri Korib Sudaryo, MS, DSc, tenaga pengajar Departemen Epidemiologi FKM UI dan Putri Viona Sari S. Gz M.Sc., PhD candidate di Global Health Policy Unit, University of Edinburgh.
Webinar kali ini merupakan seri ke-10 dari Webinar FKM UI dan dimoderatori oleh Mila Tejamaya, S. Si, M. OHS, PhD, Kepala Program Studi Sarjana K3 FKM UI. Pada sesi opening remarks, Wakil Dekan Bidang Pendidikan, Penelitian dan Kemahasiswaan, Dr. Ir. Asih Setiarini, M. Sc menyampaikan bahwa penting untuk mengetahui bagaimana cara berperilaku dan bersikap dalam kondisi new normal yang akan dihadapi oleh masyarakat di tengah pandemi serta memahami stigma penderita COVID-19 yang berkembang di masyarakat.
New Normal, Siapkah Kita?
Pandemi COVID-19 yang mewabah saat ini menjadi tantangan yang harus diselesaikan. Kebijakan Pembatasan Sosial Berskala Besar atau PSBB menjadi salah satu kebijakan yang dijalankan pemerintah Indonesia. Hal tersebut dilakukan dalam rangka melakukan langkah kedaruratan kesehatan masyarakat untuk menghadapi pandemi COVID-19 yang semakin bertambah kasusnya dari hari ke hari.
Namun, PSBB ternyata menimbulkan berbagai keadaan yang tak menentu seperti tingkat kepatuhan dari masyarakat yang beragam dan cenderung rendah. Hal tersebut disebabkan salah satunya oleh kondisi sosial dan ekonomi yang mengharuskan masyarakat tak mengindahkan PSBB. Oleh sebab itu, upaya New Normal dicanangkan oleh pemerintah dengan berbagai ketentuan untuk menjalankan protokol kesehatan yang ada.
Badan kesehatan dunia, WHO, dalam Public Health and Social Measures (PHSM) in Context of COVID-19 menjelaskan bahwa terdapat 3 kriteria yang bisa dijadikan pedoman untuk merespon situasi tersebut. Kriteria pertama ialah kriteria epidemiologi yang berisi 7 kriteria, diantaranya pelonggaran PSBB bisa dilakukan apabila terdapat penurunan insiden dan kasus baru hingga 50% dalam kurun waktu dua minggu terakhir. Selanjutnya, kriteria yang berkaitan dengan sistem kesehatan yang salah satunya berbicara mengenai kapasitas kesehatan yang mengalami peningkatan dalam penanganan yang sudah terstandarisasi. Kriteria terakhir adalah mengenai surveilans kesehatan masyarakat yang meliputi identifikasi kasus baru, kasus kematian dan, jumlah uji laboratorium terhadap pandemi COVID-19.
“Dengan menjalankan New Normal, tentu akan menimbulkan berbagai akibat. Oleh karena itu selain membutuhkan kesiapan dari masyarakat, implementasi dan pengawasan regulasi serta protokol kesehatan dari pemerintah menjadi penting dalam era New Normal”, ujar Doktor Mondastri.
Sebagai tambahan, Doktor Mondastri menyampaikan bahwa pemahaman masyarakat terhadap konsep New Normal harus ditingkatkan sehingga masyarakat tak tergelincir pada pemahaman, sikap dan perilaku keliru yang bisa berakibat buruk.
Stigma Terhadap Pandemi COVID-19 di Indonesia
COVID-19 adalah penyakit menular yang disebabkan oleh virus SARS Cov-2 yang telah mewabah di seluruh dunia, bahkan di Indonesia. COVID-19 telah menjadi pandemi yang menjadi masalah kesehatan yang tak hanya berdampak pada kondisi kesehatan tetapi memiliki dampak lain, salah satunya adalah stigma terhadap COVID-19 dan penderitanya.
Stigma dapat diartikan sebagai sebuah atribut yang ditujukan pada pihak tertentu yang bersifat mendiskreditkan. Pada saat ini, terdapat fenomena stigma yang bersifat negatif terhadap penyakit COVID-19 dan penderitanya. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah fear atau ketakutan, lack of knowledge, dan misinformasi dan mispersepsi. Ketakutan terhadap pandemi COVID-19 yang disebabkan oleh pengetahuan yang masih terbatas karena COVID-19 merupakan wabah penyakit baru dan misinformasi dan mispersepsi yang saat ini terjadi di Indonesia, bahkan dunia.
“Stigma menjadi common secondary impact yang dihasilkan dari pandemi COVID-19. Fenomena stigma terjadi dan ditujukan pada pihak lain seperti individu maupun kelompok penderita COVID-19 diluar kelompok sosial tertentu karena disrupsi ekonomi dan sosial yang menimbulkan ketakutan terhadap pandemi COVID-19 tersebut”, ujar Doktor Viona.
Lebih lanjut, Doktor Viona menambahkan bahwa ternyata stigma tersebut menyebabkan dampak yang lebih luas dengan menghambat pelaksanaan upaya kesehatan. Contoh nyatanya adalah, banyak orang menjadi takut karena akan dikucilkan dari masyarakat sebagai penderita COVID-19 sehingga akan memperlambat pelayanan kesehatan.
Dalam menghadapi stigma terhadap pandemi COVID-19 tentu dapat dilakukan dengan melakukan komunikasi ke masyarakat secara umum dengan tujuan meningkatkan pengetahuan, persepsi yang benar, dan memberikan informasi tentang apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat agar suasana menjadi lebih aman pada kondisi saat ini. (MFH)