Pada Senin, 23 September 2024, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) melalui Mata Kuliah Dasar Kesehatan Masyarakat menggelar kuliah umum daring yang diikuti oleh para mahasiswa. Kuliah ini bertujuan untuk memberikan wawasan mengenai penyakit menular yang menjadi perhatian global saat ini, terutama MPOX (Monkeypox), serta mengenalkan peran pemodelan matematika dalam memahami epidemiologi penyakit. Kuliah tamu ini dipandu oleh Putri Amalia Firjatillah, S.K.M, sebagai Moderator, dan menghadirkan dua narasumber terkemuka, yaitu Dr. Musthofa Kamal, M.Sc., dari WHO Indonesia, serta Bimandra A. Djaafara, Ph.D., dari National University of Singapore.
Doktor Musthofa Kamal, seorang pakar surveilans dari WHO Indonesia, membuka sesi pertama dengan pembahasan mendalam mengenai situasi terkini MPOX. Ia menjelaskan bahwa MPOX, yang sebelumnya dikenal sebagai Monkeypox, adalah penyakit zoonosis yang pertama kali ditemukan pada tahun 1970. “Penyakit ini ditularkan dari hewan ke manusia dan awalnya hanya terjadi di wilayah pedalaman Afrika. Namun, kini penyebarannya telah meluas hingga ke negara-negara di luar Afrika,” terang Dr. Kamal. Melalui paparannya, Dr. Kamal juga menyoroti penemuan varian baru MPOX, yaitu Clade 1b, yang muncul pada tahun 2023 dan telah menyebar melalui transmisi antar manusia di wilayah Afrika Timur, khususnya di Republik Demokratik Kongo (DRC). “Varian baru ini telah banyak terdeteksi di enam negara, termasuk Burundi, Rwanda, Kenya, Uganda, Swedia, dan Thailand, dengan angka kematian diperkirakan mencapai 0,7% di DRC,” jelasnya.
Lebih lanjut, Dr. Kamal menjelaskan bahwa meskipun sebagian besar penularan terjadi melalui kontak erat antar manusia, peningkatan kasus di wilayah-wilayah tertentu didorong oleh transmisi melalui kontak seksual. Ia juga menekankan pentingnya kolaborasi lintas sektor dalam penanganan penyakit ini, terutama dalam menghadapi lonjakan kasus yang signifikan.
“MPOX saat ini tidak dinyatakan sebagai pandemi, tetapi telah mendapatkan status Public Health Emergency of International Concern (PHEIC), yang menandakan pentingnya respon global dalam koordinasi lintas sektor,” ungkap Dr. Kamal. Menurutnya, tindakan yang perlu dilakukan mencakup penguatan koordinasi darurat, peningkatan surveilans, diagnostik, dan kapasitas perawatan klinis, serta persiapan vaksinasi bagi kelompok berisiko tinggi. “Kita masih harus terus memahami bagaimana virus ini bisa bertahan dan menyebar di alam, serta melakukan tindakan yang tepat untuk mengontrol penyebarannya,” tutupnya.
Berbeda dengan materi sebelumnya, Bimandra A. Djaafara, Ph.D, seorang ahli epidemiologi dan peneliti di Saw Swee Hock School of Public Health, National University of Singapore, membahas mengenai pentingnya pemodelan matematika dalam epidemiologi penyakit menular. Ia menjelaskan bahwa pemodelan ini digunakan untuk memahami dinamika penyebaran penyakit, memprediksi skenario di masa depan, serta membantu pengambilan keputusan yang lebih baik dalam alokasi sumber daya kesehatan. “Pemodelan matematika memungkinkan kita untuk menerjemahkan riwayat alami penyakit menjadi bentuk yang lebih sistematis, sehingga memudahkan kita dalam mempelajari pola penyebarannya,” jelas Dr. Bimandra. Ia mencontohkan penggunaan compartmental models yang sering digunakan dalam pemodelan epidemi virus. Model ini membagi populasi ke dalam beberapa kelompok, seperti individu yang rentan, terinfeksi, dan sembuh, untuk menggambarkan alur penyebaran penyakit.
Ia menekankan bahwa model yang baik harus sederhana namun mampu mencerminkan kenyataan dengan tepat. “Model harus sesederhana mungkin, tetapi tidak boleh terlalu sederhana sehingga kehilangan akurasi,” tutur Dr. Bimandra, mengutip prinsip parsimoni dalam pemodelan. “Selain itu, penting bagi model ini untuk dapat diparameterisasi berdasarkan data dunia nyata. Ini membantu kita mendapatkan prediksi yang lebih akurat dan relevan dengan kondisi di lapangan,” lanjutnya.
Dalam penjelasannya, Dr. Bimandra menyoroti dua peran utama model dalam epidemiologi, yaitu prediksi dan pemahaman. Model dapat digunakan untuk memprediksi tren penyebaran penyakit di masa depan, membantu otoritas kesehatan mempersiapkan langkah-langkah mitigasi yang tepat. Di sisi lain, model juga memberikan pemahaman yang lebih baik tentang faktor-faktor yang memengaruhi penyebaran penyakit, sehingga dapat diambil langkah-langkah pencegahan yang lebih efektif.
“Pemodelan matematika bukan hanya alat untuk memprediksi, tetapi juga alat untuk memahami, menganalisis, dan merancang intervensi yang lebih baik dalam menghadapi epidemiologi penyakit menular,” pungkas Dr. Bimandra.
Kuliah umum ini memberikan wawasan berharga bagi mahasiswa FKM UI dalam memahami penyakit menular dari berbagai perspektif, baik melalui pembahasan langsung mengenai penyakit MPOX dan tantangan global yang dihadapi, maupun melalui pengenalan metode ilmiah seperti pemodelan matematika untuk memprediksi dan memahami penyebaran penyakit. Melalui kuliah umum Daskesmas ini, diharapkan para mahasiswa dapat lebih siap menghadapi tantangan di masa depan dan berkontribusi dalam pengendalian penyakit di Indonesia maupun secara global. (DFD)