Depok, 1 Desember 2025 – Saat ini kita hidup pada era ketika kesehatan manusia, kesehatan lingkungan, dan kesehatan planet tidak lagi memiliki batas yang jelas. Ketiganya saling terhubung begitu erat sampai perubahan kecil pada satu sisi bisa memicu dampak yang luas. Perubahan iklim pun bukan lagi ancaman yang hanya mengisi laporan ilmiah, melainkan hadir sebagai bagian dari keseharian kita. Kejadian banjir, kekeringan, penurunan kualitas udara, serta perubahan pola curah hujan semakin sering terjadi dan membentuk ulang ekologi berbagai penyakit. Kondisi ini berdampak pada meningkatnya dinamika penyakit emerging dan re-emerging seperti leptospirosis, chikungunya, malaria, dan zoonosis lain yang kini menunjukkan pola penularan baru yang semakin sulit diprediksi.
Dalam konteks tersebut, Fakultas Kesehatan Masyarakat (FKM) Universitas Indonesia (UI) kembali menyelenggarakan Seminar Online Seri 17 dengan mengangkat tema “Dinamika Penyakit Emerging & Re-Emerging Dampak Perubahan Iklim dan Lingkungan: Tantangan dari Skala Lokal hingga Global”. Acara ini diselenggarakan pada Sabtu, 29 November 2025 secara hybrid di Ruang Auditorium Ojo Radiat, Gedung Pendidikan dan Laboratorium FIK UI (Lt. 8) dan online melalui Zoom Workplace, yang menghadirkan para narasumber dari Kementerian Kesehatan RI, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan, Badan Informasi Geospasial, Greenpeace Indonesia, akademisi dari FKM UI, mahasiswa, serta peserta umum.
Dalam sambutannya, Dr. Laila Fitria, S.K.M., M.K.M., Manajer Akademik FKM UI, menekankan dibalik tantangan besar menghadapi berbagai permasalahan, tersimpan peluang besar bagi generasi selanjutnya yaitu peluang untuk memperkuat sistem kesehatan membangun jejaring lintas sektor dan menempatkan Indonesia sebagai bagian aktif dalam upaya global menghadapi krisis iklim. Ia menyebut generasi muda sebagai generasi yang akan memimpin respon kesehatan terhadap krisis iklim di masa depan.
Sesi pertama dipandu oleh Dr. Budi Hartono, S.Si., M.K.M. sebagai moderator. Narasumber pertama, Dr. dr. Then Suyanti, M.M., menyoroti risiko kesehatan yang sensitif terhadap iklim, mulai dari penyakit pernapasan, heat-related illness, penyakit tular vektor dan tular air, hingga zoonosis, penyakit tidak menular, serta dampaknya pada kesehatan mental. Ia menjelaskan langkah pemerintah dalam membangun sistem kesehatan berketahanan iklim. “Pemerintah telah mengembangkan berbagai komponen sistem kesehatan berketahanan iklim, termasuk penguatan peringatan dini (EWARS), penelitian iklim-kesehatan, teknologi fasilitas kesehatan berkelanjutan, program Desa Sehat Iklim (DEKSI), serta rencana kontingensi bencana kesehatan,” ujar dr. Then.
Lebih lanjut, Franky Zamzani, S.Hut., M.Env., menjelaskan tentang adaptasi kesehatan menjadi bagian dari NDC dengan strategi yang mencakup peningkatan fasilitas layanan kesehatan tahan iklim, sistem peringatan dini iklim-kesehatan, penguatan surveilans penyakit sensitif iklim, serta kapasitas daerah dalam perencanaan adaptasi. “Perubahan iklim diproyeksikan memicu peningkatan kejadian ekstrem yang berdampak pada kejadian penyakit, ketersediaan air bersih, dan keamanan pangan. Karena itu, penguatan lintas sektor menjadi fundamental, termasuk sinergi antara energi bersih, ekosistem, ketahanan pangan, dan layanan kesehatan,”ujar Franky.
Sementara itu, Prof. Dr. R. Budi Haryanto, S.K.M., M.Kes., M.Sc., menambahkan perspektif akademik melalui data yang menunjukkan bagaimana variabilitas iklim memengaruhi pola penyakit menular dan tidak menular di Indonesia. “Pada penyakit malaria, data menunjukkan peningkatan Annual Parasite Incidence dari 0,8 pada 2019 menjadi 1,6 pada 2022, menunjukkan sensitivitas penularan terhadap perubahan iklim. Polusi udara juga menjadi ancaman serius, dengan kenaikan PM2.5 yang berkaitan erat dengan peningkatan kasus pneumonia, PPOK, dan penyakit jantung iskemik,” ujar Prof. Budi.

Lebih lanjut, sesi kedua pada seminar ini dipandu oleh Fitri Kurniasari, S.K.M., M.K.K.K., Ph.D., sebagai moderator. Dr. A. Fachri Radjab, S.Si., M.Si., CPM, membuka sesi dengan paparan mengenai kondisi iklim global 2024–2025 yang menjadi periode terpanas sepanjang sejarah pencatatan. Ia menjelaskan bagaimana BMKG menyediakan layanan iklim untuk sektor kesehatan. “BMKG menyediakan layanan iklim untuk sektor kesehatan, termasuk sistem DBDklim Jakarta yang menyediakan prediksi kelembapan udara lima bulan ke depan dan estimasi angka insidensi DBD tiga bulan ke depan,” ujar Dr. Fachri. Sistem ini kini digunakan Dinas Kesehatan untuk rekomendasi, edukasi, dan peringatan dini kepada fasilitas pelayanan kesehatan.
Di sisi lain, Bondan Andriyanu S.SI., dari Greenpeace Indonesia, mengajak peserta untuk melihat ulang arah pembangunan nasional. Menurutnya, pembangunan yang menempatkan kesehatan sebagai dampak sampingan adalah pembangunan yang keliru. “Krisis iklim adalah bukti bahwa model ekonomi berbasis ekstraksi bukan hanya merusak planet tetapi merusak tubuh manusia dan generasi mendatang,” ujar Bondan.
Melalui SEMOL Seri 17 ini, FKM UI menegaskan bahwa perubahan iklim telah menjadi determinan kesehatan yang memengaruhi transmisi, distribusi, dan intensitas berbagai penyakit di Indonesia. Seminar ini diharapkan dapat memperkuat pemahaman berbagai pemangku kepentingan dalam menghadapi dinamika penyakit emerging dan re-emerging di tengah perubahan iklim.(EAR)

